Kamis, 27 Mei 2010

Mengungkapkan isi hati

Hari ini, belum berapa lama mentari bersinar. Tapi hangatnya sudah terasa membakar diri. Gerah. Yang secara tidak langsung membuat marah. Tersinggung sedikit aja, langsung naik pitam. Gondok yang luar biasa.

Dekapan akan pekerjaan membuat hati semakin bosan. Ingin berlari meninggalkan semua. Bersepi tenang di alam segar. Menghirup udara sehat penuh ketenangan.Di iringi gemericik air yang berderak. Menguraikan semua bahan yang berani masuk ke arusnya.

Dentuman waktu belum mampu menggerakkan diri. Masih berbalut sungkan dan berbusana enggan. Menaikkan bilangan ketidakmampuan berbuat sebuah makna untuk kehidupan. Bosan dan takut. Bosan dengan kondisi yang ada namun takut berbuat sesuatu yang di luar kebiasaan. Ingin membungkam semua yang bersuara. Ingin mendiamkan semua yang ribut. Diam. Tenang. Itulah yang membawa senyum diam dan tanpa ekspresi. Tatapan kosong seolah tanpa beban. Perilaku diam seolah tidak peduli. Sebagai ungkapan hati yang resah dan gelisah menjalani hidup yang payah.

Semua hanya membawa pada detik keterlupaan dari sekian masalah pelik. Karena memang sudah diberhentikan dari berbagai kinerja dan fungsi. Kediaman itu harus dijalani dan mau tidak mau harus diikuti. Kelahiran semua keisengan boeh jadi hadir dari situ. Tapi, kini iseng yang tak seberapa itu membuahkan hasil ayng luar biasa.

Ketersingkiran dan keterasingan melingkupi semua jiwa dan paradigma. Pikiran semakin picik. Semakin sempit. Mendatangkan keengganan untuk berkarya dan beramal dakwah. Semua hal yang mengusik diri karena terasa tidak sesuai dakwah hanya didiamkan. Karena memang di lahan ijtihadi. Dan kini hubungan itu sudah diberhentikan.

Posisi yang aneh. Walaupun sebenarnya dalam dakwah tidak mempedulikan struktur dan jabatan. Yah, pemahaman itu harus dihunjamkan di hati. Bukan di mana sekarang yang penting. Tetapi peran apa yang dilakukan. sekarang, saat ini. Apa pengaruhnya bagi dakwah. Pertanyaan sejenis harus bertabur di benak. Agar bisa eksis walaupun dari tepi.

Yah, eksistensi sebagai kader. Itu yang harus dijaga.

Lain lagi, pengaruh usia yang berkaitan dengan perkembangan biologis dan psikologis. Gerakan rasa fitrah itu menjadi lintasan yang tak kenal henti. Dan tak jarang membuahkan ketidakteratuaran amal bahkan kemaksiatan. Mengungkapkan isi hati adalah cara mengurangi tekanan lintasan itu. Lintasan itu harus dialihkan ke araah yang tidak salah. Setidaknya dilepaskan di daerah yang memiliki efek terkecil.

Semakin sensitif aja. Semakin aneh. semakin tertinggal.

Akankah ini menjadi kejadian yang direkamkan sejarah untuk diri? Melawan rasa itu tidak mudah. Mengaturnya juga tidak gampang. Ia berseifat bolak balik. Rasa itu erat dengan kondisi hati. Semoga saja beratubat dengan segera dan sungguh-sungguh.
Semoga sukses!!

Tidak ada komentar :

Posting Komentar