Senin, 26 Oktober 2009

Pasangan Jiwa

Andri telah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia mencari gadis yang baik
untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat ini, ia belum juga berhasil.
Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu mempertimbangkan
bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat Musim panas mulai
bertiup, Andri melakukan perjalanan ke Yogya. Di tengah perjalanan, Andri
memutuskan untuk beristirahat di sebuah Rumah penginapan yang berada
di Sekitar Malioboro. Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu.
Maka Andri tak segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu.
Seperti gayung bersambut, temannya menyarankan Andri untuk mencoba
melamar anak gadis keluarga Surya. Menurut temannya itu, keluarga Surya
adalah keluarga yang status sosial ekonominya sederajat dengan Andri.
Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar. Andri girang bukan
main.Sebelum berpisah, teman Andri berjanji untuk mempertemukannya
dengan'Pak Comblang' dari keluarga Surya , esok pagi. Pak Comblang
inilah yang akan meneruskan data pribadi Andri kepada gadis tersebut.
Bila keluarga itu berkenan menerimanya, maka Andri akan segera
berkenalan, sebelum lamaran resmi atau khitbah diajukan.

Kegembiraan yang meluap-luap memenuhi rongga dada Andri.
Dibentangkannya sajadah, lalu ia mulai sholat istikhoroh.
Baru kali ini Andri merasa melakukannya dengan sepenuh hati,
dengan kepasrahan yang murni ... Ah. Tak terasa air mata Andri berjatuhan.
Diam-diam menyelinap suatu penyesalan. Mengapa ia baru bisa khusyu' dan dapat merasakan ikatan yang erat dengan Allah, ketika ada masalah berat dan serius yang harus ia hadapi? Waktu subuh belum
lama berlalu, namun Andri telah bersiap untuk pergi menemui Pak
Comblang. Makin cepat makin baik, pikirnya. Di bawah sinar bulan sabit
yang kepucatan, Andri bergegas menuju tempat itu. Fajar belum juga
merekah ketika Andri sampai di tempat yang dijanjikan. Sepi sekali.
Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Andri benar-benar sendirian. Di
tengah kegamangan hatinya, Andri mencoba mengitari bangunan itu.
Seperti sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang memantul di sela-sela kaca
jendela, membangkitkan rasa ingin tahunya. Andri berjingkat ke arah
jendela. Ditempelkan matanya ke celah-celah ...

"Hei, masuklah!"
"Jangan mengintip seperti itu!"
Andri tersentak. Rasa malu, kaget dan takut berbaur menjadi satu.
"Ayo, masuklah. Jangan takut!"
Suaranya lebih lembut namun tetap berwibawa. Andri ragu-ragu. Tetapi
Rasa ingin tahu sedemikian menyerbunya. Akhirnya ia memberanikan diri
melangkah ke dalam.
"Kemarilah!" ajaknya tanpa melihat muka Andri. Andri memperhatikan
dengan penuh seksama. Laki-laki itu belum terlalu tua, tapi wajahnya
memancarkan kebaikan yang seolah-olah bersumber dari seluruh aliran
darahnya. Bijak, arif, lembut namun tegas. Tentulah ia pengemban
amanah yang luar biasa, pikir Andri. Laki-laki itu duduk di atas permadani
sambil membaca sebuah buku. Lalu ia berkata perlahan: "Belum saatnya
Andri .... Belum saatnya."Andri menatap wajahnya dengan penuh
kebingungan.

Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan. Kali ini ditatapnya Andri
dengan ketajaman jiwa. "Kau tahu? Semenjak seseorang ada dalam kandungan
ibunya, Allah Ta'ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau sudah tahu
bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan hidupnya."
"Hmmmm..... seperti benang sutera." "Ya, seperti benang sutera yang
diikatkan di antara mereka berdua. Kepada kaki laki-laki atau bayi
perempuan yang lahir dan ditakdirkan berjodohan satu dengan yang
lainnya. Begitu simpul diikatkan, maka tak ada suatu hal pun yang
dapat memisahkan mereka." "Salah seorang diantara mereka mungkin saja
berasal dari keluarga yang miskin, sedang yang lainnya dari keluarga yang
kaya. Atau mereka terpisah bermil-mil jaraknya, bahkan mungkin ada yang
berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Tapi pada akhirnya,
bila saatnya telah tiba, mereka akan menjadi suami istri. Tak ada
suatu hal pun yang dapat mengubah takdir itu." Laki-laki itu terdiam sesaat.
Andri kini sudah sepenuhnya duduk terpekur di hadapannya. Kalimat demi
kalimat disimaknya dengan seksama.

"Jodoh adalah masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu rahasia
kehidupan yang tak akan pernah tuntas untuk dimengerti. Bayangkan. Dua
anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya masing-masing. Sebagian
besar mungkin tidak menyadari kehadiran satu dengan lainnya. Tapi bila
saatnya tiba, mereka akan bertemu dan mengekalkan ikatannya dalam tali
pernikahan. "Kalau ada wanita atau laki-laki lain yang muncul diantara
keduanya, ia akan terjatuh. la tak akan mampu melewati bentangan tali
sutera yang telah diikatkan pada mereka. Ah, kau pasti pernah melihat
orang yang patah hati bukan? Hhh, sebagian orang yang bodoh dan tak
kuat menahan cobaan, memilih mati daripada patah hati. Bukan takdir yang
memilihnya untuk bunuh diri. Itu pilihannya sendiri, ia cuma tak sabar
menanti saat pertemuan itu datang.

"Ketahuilah, Andri. Masalah jodoh adalah rahasia Allah.
Kau harus dapat berdamai dengan takdirmu. "Bagaimana dengan aku!" sela Andri.
"Apakah aku akan berhasil menikah dengan anak gadis dari keluarga Surya?
Apakah ia takdirku?"
tanyanya tak sabaran. Laki-laki itu tersenyum. "Belum saatnya Andri.
Belum saatnya. Suatu saat nanti, kau akan menikah dengan seorang gadis
shalihat, cantik dan pintar. Pun dari keluarga yang terhormat. Kelak,
setelah menikah, kalian akan mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan
menjadi pedagang yang terpelajar. Ia dermakan kekayaannya untuk agama
Allah. la juga akan menjadi anak yang senantiasa memelihara kedua
orang tuanya. Meskipun kalian sudah tua renta nanti. Hal ini tak lepas dari
peranan ibunya dalam mendidik anak itu." "Tapi itu nanti. Bila calon
istrimu telah mencapai usia 17 tahun. Sayangnya, saat ini dia masih
berumur 7 tahun." "Hah!" Andri kebingungan. "Jadi saya harus membujang
selama 10 tahun ?!" Andri menatap tak percaya. Ia berharap semua hanya
kemungkinan karena ia salah dengar saja. Andri mencari kesungguhan di
sana. Tapi semua sia- sia. Air muka laki-laki itu tak berubah sedikit
pun. Dan Andri menyadari semua adalah kebenaran.
"Kalau begitu, di mana dia sekarang? Dimana saya dapat menemui calon
istri saya? Tolonglah?!" Andri memohon padanya. "Oh, gadis itu tinggal
dengan wanita penjual sayur. Tak jauh dari sini. Setiap pagi, wanita itu
datang ke pasar dan menjajakan sayurannya di sebelah kios ikan."

Kukuruyukkkkk... !!
Suara nyaring ayam jantan memecah keheningan. Andri tersentak.
Kukuruyukkkkk...! !
Kokok nyaring ayam jantan membangunkan Andri dari
tidurnya. Ah, rupa-rupanya ia tertidur di atas sajadah. Alhamdulillah,
waktu subuh belum habis. Andri bersegera mengambil wudhu. Sehabis
sholat subuh,Andri kembali teringat mimpinya. Seolah semua menjadi teka-teki.
Andri belum tahu apakah harus menganggapnya sebagai jawaban atas
sholat istikhorohnya atau tidak. Untuk menyingkap tabir mimpi itu, cuma ada
satu cara yang bisa dilakukannya: mencari gadis kecil yang katanya
calon istrinya itu!

Lalu Andri pun bergegas ke pasar terdekat. Sepanjang jalan ia berdoa
dan berjanji. Berdoa agar calon istrinya memang benar-benar baik bibit,
bebet dan bobotnya. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam mimpi. Dan
berjanji untuk menerima takdirnya dan berusaha menjadi muslim yang
baik. Lebih baik dari kualitasnya sekarang. Fajar telah lama merekah saat
Andri tiba di sana. Orang-orang mulai melakukan kegiatannya. Pembeli
mulai berdatangan. Ramai. Namun belum seramai satu jam yang akan
datang. Maka Andri lebih leluasa untuk mengamati sekitarnya. Matanya
berkeliling mengitari pasar, lalu tertumbuk pada sosok kecil di samping kios ikan. Wanita itu tua, kotor, lusuh. Kumal. Rambutnya telah keabu-abuan.
Dengan sebelah mata tertutup lapisan katarak, ia duduk di selembar alas
sambil menggendong bocah kecil di dadanya. "Oh, tidak!! Bagaimana mungkin?!
Ini pasti kekeliruan!"Andri menatap kembali bocah terlantar yang kurus
kering itu. Hatinya hancur. Ah, mimpi semalam benar-benar hanya bunga
tidur. Andri kembali ke penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan
saja ia kecewa karena calon istrinya ternyata hanya seorang bocah
gelandangan, tapi juga karena 'Pak Comblang' dari keluarga Surya tidak
datang pada pertemuan yang ia janjikan. Tanpa suatu penjelasan apapun.
Ah, sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula!
Saya adalah seorang yang terpelajar. Sudah selayaknya saya mendapatkan
seorang gadis dari keluarga terhormat. Semakin lama Andri memikirkan
hal tersebut, semakin jijik ia membayangkan kemungkinan menikahi bocah
kumal itu. Benar-benar menggelikan. Andri khawatir hal tersebut benar-benar
akan terjadi. Dan ia tidak dapat tidur semalaman.

Keesokan harinya. Andri pergi ke pasar bersama dengan pelayan
setianya. Andri menjanjikan imbalan yang sangat besar apabila ia berhasil
membunuh bocah kumal itu. Andri dan pelayannya berdiri di belakang pembeli.
Begitu kesempatan datang, pelayan Andri menikamkan pisaunya ke arah si
anak, lalu mereka kabur. Bocah kecil itu menangis dan wanita buta yang
menggendongnya berteriak-teriak: "Pembunuh! Pembunuh!" Kegemparan
segera menyebar ke seluruh penjuru pasar. Sementara itu, Andri dan pelayannya
telah lenyap dari tempat kejadian. "Kau berhasil membunuh dia?" tanya
Andri terengah-engah. "Tidak," jawab pelayannya. "Begitu saya
menghunjamkan pisau ke arahnya, anak itu berbalik secara tiba-tiba.
Saya rasa saya hanya melukai mukanya. Dekat alisnya." Andri segera
meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera terlupakan oleh
masyarakat sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat menuju ibukota.
Karena kecewa dengan kegagalan pernikahannya, Andri memutuskan untuk
berhenti memikirkan perkawinan.

Tiga tahun kemudian Andri dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik yang berasal dari keluarga Hartono. Sebuah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat sekitar. Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik. Semua orang memberi selamat pada Andri. Persiapan pernikahan tengah dilangsungkan, ketika suatu pagi Andri menerima berita yang menyakitkan. Calon istrinya melarikan diri
dengan laki-laki yang dicintainya. Mereka berdua telah menikah di kota
lain. Selama dua tahun Andri berhenti memikirkan pernikahan. Saat itu
ia berusia dua puluh delapan tahun. Ia berubah pikiran tentang mencari
pasangan dari masyarakat yang sekelas dengannya; seorang gadis kota
terpelajar. Maka Andri pergi ke pedesaan, mencari suasana baru. Di
desa, Andri menghabiskan waktu dengan mempelajari buku-buku. Suatu
hari ia membawa bukunya ke sungai di dekat ladang, agar lebih nyaman
membacanya. Tanpa sengaja ia melihat gadis desa yang sedang memanen
kentang. Andri jatuh hati padanya dan bersegera menemui orang tua
gadis itu. Gayung bersambut, gadis itu menerima lamarannya. Maka Andri
bergegas ke kota untuk membeli perhiasan dan baju sutera serta segala
persiapan pernikahan. Selama beberapa hari, Andri berkeliling
mengunjungi saudara-saudaranya untuk mengabarkan berita gembira itu.
Seminggu kemudian ia kembali ke desa. Tapi yang ditemuinya hanya kabar
buruk tentang sakitnya sang calon. Andri bersedia menunggu sampai ia
sembuh. Sampai setahun hampir berlalu, penyakit calon istrinya malah
semakin parah. Gadis itu kehilangan seluruh rambutnya dan menjadi
buta.Ia menolak menikahi Andri dan berpesan pada orang tuanya untuk meminta
Andri melupakan dia. Ia mohon agar Andri mencari gadis lain yang layak
untuk dijadikan istri.

Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya Andri
mendapatkan calon yang sempurna. Bukan saja ia cantik dan masih muda,
tapi juga pencinta buku dan seni. Tak ada rintangan, khitbah pun
segera dilangsungkan. Tiga hari sebelum pernikahan, gadis itu terjatuh dari
tangga dan mati. Sepertinya nasib mengolok-olokkan Andri. Andri Ku
menjadi fatalis. Ia tidak lagi peduli pada wanita, ia hanya bekerja
dan bekerja. Sekarang ia bekerja di kantor pemerintahan di Yogya.
Mengabdikan diri pada tugas dan sama sekali berhenti memikirkan
pernikahan. Tapi ia bekerja dengan sangat baik, sehingga atasannya,
Hakim Sulaiman, terkesan pada dedikasi dan kesungguhannya. Lalu
mengusulkan Andri untuk menikahi keponakannya. Pembicaraan itu sangat
menyakitkan Andri. "Mengapa Tuan mau menikahkan keponakan Tuan pada
saya! Saya terlalu tua untuk menikah." Pejabat itu menasehati Andri
tentang keburukan membujang. Lagipula menikah adalah sunnah
Rasulullah. Maka Andri menyetujuinya, meskipun ia sama sekali tidak antusias.
Andri benar-benar tidak melihat istrinya sampai pernikahan benar-benar
selesai dilangsungkan.

Istrinya ternyata masih muda, Andri lega melihatnya.
Tingkah lakunya sangat baik dan Andri harus mengakui bahwa ia adalah
istri yang sangat baik. Taat, sholihat dan selalu menyenangkan. Sama
sekali tidak ada alasan untuk tidak menyukainya. Bila di rumah,
istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas, sehingga menutupi pelipis
kanannya. Menurut Andri, dengan tata rambut seperti itu istrinya
kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak heran. Tak kurang dari satu
bulan, Andri telah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Suatu saat ia
bertanya, "Mengapa dinda tidak mengganti gaya rambut sekali-kali?
Maksudku, mengapa dinda selalu menyisirnya ke satu arah?" Istri Andri
menyibakkan rambutnya dan berkata, "Lihatlah!" Ia menunjuk ke luka di
pelipis kanannya. "Bagaimana bisa begitu?" "Aku mendapatkannya saat
berumur tujuh tahun. Ayahku meninggal di kantornya, sedangkan ibu dan
abangku meninggal dunia pada tahun yang sama. Kemudian aku dirawat
oleh ibu susuku. Kami mempunyai rumah di dekat Gerbang Selatan Yogya, dekat
kantor ayahku. Suatu hari, seorang pencuri tanpa alasan apa pun,
mencoba membunuhku. Kami sama sekali tidak mengerti, kami tidak pernah punya
musuh. Ia tidak berhasil, tapi ia meninggalkan luka di kepala sebelah
kananku. Karena itulah aku selalu menutupinya darimu." "Apakah ibu
susumu hampir buta?" "Ya. Kok tahu?" "Akulah pencuri itu. Ah, tapi
bagaimana mungkin! Semua begitu aneh. Semua terjadi, seperti ada yang
telah mentakdirkan."Andri kemudian menceritakan semuanya. Bermula
dari mimpinya setelah ia sholat istikhoroh, sekitar sepuluh tahun yang
lalu. Istrinya juga bercerita, ketika ia berusia sembilan atau sepuluh
tahun, pamannya menemukan ia di Sung-Cheng dan mengambilnya untuk tinggal
bersama keluarganya di Shiang-Chow.

Akhirnya mereka menyadari bahwa pernikahan mereka adalah sebuah takdir yang telah digariskan Allah Ta'ala. Andri menangis. Ia malu pada Penciptanya. Malu pada kesombongannya untuk menentang takdir. Ah ... pada saat itulah, Andri
menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Tapi kenapa ketika ia
mendapatkan petunjuk, ia malah mengingkarinya ? Saat itu juga, Andri
melakukan sholat taubat. Untuk menjadi mukmin yang baik. Begitulah,
kasih sayang di antara mereka kian tumbuh subur. Setahun kemudian
lahirlah anak laki-laki. Istri Andri mendidiknya dengan sangat baik.
Setelah dewasa, ia menjadi seorang yang terpelajar. Usahanya di bidang
perdagangan maju pesat. Ia sangat penyantun dan terkenal
kedermawanannya. Ketika sang anak menjadi gubernur, Andri telah lanjut
usia. Anak dan istrinya tetap setia memelihara dan mencintainya. Di
tempat mereka pertama kali bertemu, empat belas tahun sebelum
pernikahan, anak Andri membangun tempat peristirahatan untuknya.

"Dan segala sesuatu kami jadikan berjodoh-jodohan, agar sekalian kamu
berpikir." (QS 51 : 49).

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS. 30:21)

Menjadi Apapun Dirimu.....

Publikasi: 20/10/2003 13:09 WIB
eramuslim - Menjadi karang-lah, meski tidak mudah. Sebab ia ‘kan menahan sengat binar mentari yang garang. Sebab ia ‘kan kukuh halangi deru ombak yang kuat menerpa tanpa kenal lelah. Sebab ia ‘kan melawan bayu yang keras menghembus dan menerpa dengan dingin yang coba membekukan. Sebab ia ‘kan menahan hempas badai yang datang menggerus terus-menerus dan coba melemahkan keteguhannya. Sebab ia ‘kan kokohkan diri agar tak mudah hancur dan terbawa arus.Sebab ia ‘kan berdiri tegak berhari-hari, bertahun-tahun, berabad-abad, tanpa rasa jemu dan bosan.
Menjadi pohon-lah yang tinggi menjulang, meski itu tidak mudah. Sebab ia ‘kan tatap tegar bara mentari yang terus menyala setiap siangnya. Sebab ia ‘kan meliuk halangi angin yang bertiup kasar. Sebab ia ‘kan terus menjejak bumi hadapi gemuruh sang petir. Sebab ia ‘kan hujamkan akar yang kuat untuk menopang. Sebab ia ‘kan menahan gempita hujan yang coba merubuhkan. Sebab ia ‘kan senantiasa berikan bebuahan yang manis dan mengenyangkan. Sebab ia ‘kan berikan tempat bernaung bagi burung-burung yang singgah di dahannya. Sebab ia ‘kan berikan tempat berlindung dengan rindang daun-daunnya.
Menjadi paus-lah, meski itu tak mudah. Sebab dengan sedikit kecipaknya, ia akan menggetarkan ujung samudera. Sebab besar tubuhnya ‘kan menakutkan musuh yang coba mengganggu. Sebab sikap diamnya akan membuat tenang laut dan seisinya.
Menjadi elang-lah, dengan segala kejantanannya, meski itu juga tidak mudah. Sebab ia harus melayang tinggi menembus birunya langit. Sebab ia harus melanglang buana untuk mengenal medannya. Sebab ia harus melawan angin yang menerpa dari segala penjuru. Sebab ia harus mengangkasa jauh tanpa takut jatuh. Sebab ia harus kembali ke sarang dengan makanan di paruhnya. Sebab ia harus menukik tajam mencengkeram mangsa. Sebab ia harus menjelajah cakrawala dengan kepak sayap yang membentang gagah.
Menjadi melati-lah, meski tampak tak bermakna. Sebab ia ‘kan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia begitu putih, seolah tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah rendah diri pada anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni. Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya.
Menjadi mutiara-lah, meski itu tak mudah. Sebab ia berada di dasar samudera yang dalam. Sebab ia begitu sulit dijangkau oleh tangan-tangan manusia. Sebab ia begitu berharga. Sebab ia begitu indah dipandang mata. Sebab ia tetap bersinar meski tenggelam di kubangan yang hitam.
Menjadi kupu-kupulah, meski itu tak mudah pula. Sebab ia harus melewati proses-proses sulit sebelum dirinya saat ini. Sebab ia lalui semedi panjang tanpa rasa bosan. Sebab ia bersembunyi dan menahan diri dari segala yang menyenangkan, hingga kemudian tiba saat untuk keluar.
Karang akan hadapi hujan, terik sinar mentari, badai, juga gelombang. Elang akan menembus lapis langit, mengangkasa jauh, melayang tinggi dan tak pernah lelah untuk terus mengembara dengan bentangan sayapnya. Paus akan menggetarkan samudera hanya dengan sedikit gerakan. Pohon akan hadapi petir, deras hujan, silau matahari, namun selalu berusaha menaungi. Melati ikhlas ‘tuk selalu menerima keadaannya, meski tak terhitung pula bunga-bunga lain dengan segala kecantikannya. Kupu-kupu berusaha bertahan, meski saat-saat diam adalah kejenuhan. Mutiara tak memudar kelam, meski pekat lingkungan mengepungnya di kiri-kanan, depan dan belakang.
Tapi karang menjadi kokoh dengan segala ujian. Elang menjadi tangguh, tak hiraukan lelah tatkala terbang melintasi bermilyar kilo bentang cakrawala. Paus menjadi kuat dengan besar tubuhnya dalam luas samudera. Pohon tetap menjadi naungan meski ia hadapi beribu gangguan. Melati menjadi bijak dengan dada yang lapang, dan justru terlihat indah dengan segala kesederhanaan. Mutiara tetap bersinar dimanapun ia terletak, dimanapun ia berada. Kupu-kupu hadapi cerah dunia meskipun lalui perjuangan panjang dalam kesendirian.
Menjadi apapun dirimu…, bersyukurlah selalu. Sebab kau yang paling tahu siapa dirimu. Sebab kau yakini kekuatanmu. Sebab kau sadari kelemahanmu.
Jadilah karang yang kokoh, elang yang perkasa, paus yang besar, pohon yang menjulang dengan akar menghujam, melati yang senantiasa mewangi, mutiara yang indah, kupu-kupu, atau apapun yang kau mau. Tapi, tetaplah sadari kehambaanmu.

Oct 17, 2003. 15.32 wib.
SebuahTaushiyahUntukDiriSendiri
fathy_farahat@yahoo.com

Ketika Mas Gagah Pergi

Mas gagah berubah!
Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah !
Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja... ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu membiayai kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.
Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.
Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di restoran, atau bergembira ria di Dufan, Ancol.
Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !
"Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?"
"Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?"
"Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?"
Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga.
Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?
"Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran..., banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati ! He...he...he.." kata Mas Gagah pura-pura serius.
Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat !
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah ! Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang kubanggakan kini entah kemana...
--=oOo=--

"Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!" teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.
Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!
"AssalaamuƔlaikuuum!" seruku.
Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.
"Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita ? Kok teriak-teriak seperti itu ?" tanyanya.
"Matiin kasetnya !" kataku sewot.
"Lho emang kenapa ?"
"Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab... , masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!" aku cemberut.
"Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !"
"Bodo !"
"Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri," kata Mas Gagah sabar. "Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek..., mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar."
"Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru..., eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!"
"Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan..."
"Pokoknya kedengaran!"
"Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho !"
"Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!" aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.
Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrud atau Giginya ?
"Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !" begitu kata Mas Gagah.
Oalaa !
--=oOo=--

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma ‘adik kecil’nya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu. Walau bingung untuk mencernanya.
Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Sholat tepat waktu, berjama’ah di Masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya,"Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu !"
Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita ! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!
Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga mama menegurnya.
"Penampilanmu kok sekarang lain, Gah ?’
"Lain gimana, Ma ?"
"Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu..."
Mas Gagah cuma senyum. "Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun."
Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang semi baggy-nya. "Jadi mirip Pak Gino," komentarku menyamakannya dengan sopir kami. "Untung saja masih lebih ganteng."
Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.
Mas Gagah lebih pendiam ? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak kocak seperti dulu. Kayaknya dia juga males banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan.
Dan...yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan!! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?
"Sok kece banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?" tegurku suatu hari. "Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang !"
"Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu," dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. "Gita lihat khan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu yang lebih benar!"
Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu..., sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya ?
Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. "Baca!"
Kubaca keras-keras. "Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!"
Si Mas tersenyum.
"Tapi Kyai Anwar mau salaman sama mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali...," kataku.
"Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?" kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. "Coba untuk mengeti ya, Dik Manis !?"
Dik manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel. Menurutku Mas Gagah terlalu fanatik ! Aku jadi khawatir. Apa dia lagi nuntut ‘ilmu putih’? Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun..., akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi sudah tingkat empat di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya..., yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.
--=oOo=--

"Mau kemana, Git!?"
"Nonton sama teman-teman." Kataku sambil mengenakan sepatu. "Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!’
"Ikut Mas aja, yuk!"
"Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!"
Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku ke rumah temannya. Ada pengajian. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jeans belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang nggak bisa aku sembunyiin. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa mama pakai ngaji. Aku nolak sambil ngancam nggak mau ikut.
"Assalaamu’alaikum!" terdengar suara beberapa lelaki.
Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, nggak ngelirik aku..., persis kelakuannya Mas Gagah.
"Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?" tanyaku iseng.
Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang tak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah nggak memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan handsome!
Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. "Ssssttt !"
Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal ke-Islaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab..., yaaa begitu deh!!
--=oOo=--

"Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!" seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memusiumkan semua jeans dan baju-baju you can see-nya.
"Ikhwan?" ulangku. "Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?" suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.
"Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita," ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. "Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini."
Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.
"Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang dien kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang eror. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik dan benar. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham."
Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.
"Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita..., meski kita kini punya pandangan yang berbeda," ujar Tika tiba-tiba.
"Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah...," kataku jujur. "Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih..."
Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. "Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Ana."
"Mbak Ana ?"
"Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!"
"Hidayah ?"
"Nginap, ya ! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Ana!"
--=oOo=--

"Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan..., eh Mas Gagah !" tegurku ramah.
"Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!" kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.
"Dari rumah Tika, teman sekolah," jawabku pendek. "Lagi ngapain, Mas?" tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster, kaligrafi, ganbar-gambar pejuang Palestina, Kashmir dan Bosnia. Puisi-puisi sufistik yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu dua rak koleksi buku ke-Islaman..
"Cuman lagi baca !"
"Buku apa ?"
"Tumben kamu pengin tahu?"
"Tunjukin dong, Mas...buku apa sih?" desakku.
"Eit..., Eiiit !" Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.
Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. "Nih!" serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.
"Nah yaaaa!" aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku ‘Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam’ itu.
"Maaaas..."
"Apa Dik manis ?"
"Gita akhwat bukan sih ?"
"Memangnya kenapa ?"
"Gita akhwat apa bukan ? Ayo jawab...," tanyaku manja.
Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang selalu jadi sasaran fitnah serta pembantaian dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk petamakalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.
Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!!
"Mas kok nangis?"
"Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara seiman di Belahan bumi lainnya sedang digorok lehernya, mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit..."
Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli...
"Kok...tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?" tanya Mas Gagah tiba-tiba.
"Gita capek marahan sama Mas Gagah !" Ujarku sekenanya.
"Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?"
"Tenang aja, Gita nyambung kok!" kataku jujur. Ya, Mbak Ana juga pernah menerangkan hal demikian. Aku ngerti deh meski nggak mendalam.
Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!
--=oOo=--

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi sepeti dulu. Meski aktifitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu.
Kini tiap Minggu kami ke Sunda Kelapa atau Wali Songo, mendengarkan ceramah umum. Atau ke tempat-tempat tabligh Akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.
"Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?" tegurku.
Biasanya papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, "Iya deh, iya!"
Pernah juga Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga gitu. Dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama souvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga. Di sana ada dalil-dalil mengapa walimah mereka dilaksanakan seperti itu. Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran, harus Islami dan semacamnya. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!
Aku nyengir kuda.
Tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.
"Nyoba pakai jilbab, Git !" pinta Mas Gagah suatu ketika.
"Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!"
Mas Gagah tersenyum. "Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan lebih dicintai Allah. Kayak Mama".
Memang sudah beberapa hari ini mama berjilbab. Gara-garanya dinasehatin terus sama si Mas, di beliin buku-buku tentang wanita, juga dikomporin sama teman-teman pengajian beliau.
"Gita mau, tapi nggak sekarang...," kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktifitasku kini, prospek masa depan (ceila) dan semacamnya.
"Itu bukan halangan." Ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku menggelengkan kepala. Heran, Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!
"Ini hidayah, Gita!" kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.
"Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!"
"Lho?" Mas Gagah bengong.
--=oOo=--

Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Gimana nggak bangga? Dalam acara Studi Tentang Islam yang diadakan FTUI untuk umum ini, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak,"Hei, itu kan Mas Gagah-ku !"
Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yamh dibawakan oleh kyai-kyai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar!
Pada kesempatan itu juga Mas Gagah berbicara tentang muslimah masa kini dan tantangannya dalam era globalisasi.
"Betapa Islam yang jelas-jelas mengangkat harkat dan martabat wanita, dituduh mengekang wanita hanya karena mensyariatkan jilbab. Jilbab sebagai busana taqwa, sebagai identitas muslimah, diragukan bahkan oleh para muslimah kita, oleh orang Islam sendiri," kata Mas Gagah.
Mas Gagah terus bicara. Tiap katanya kucatat di hati ini.
--=oOo=--

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Ana senang dan berulang kali mengucap hamdalah.
Aku mau ngasih kejutan buat Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengejutkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan tasyakuran ultah ketujuh belasku.
Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara tasyakuran yang insya Allah mengundang teman-teman dan anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami.
"Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!" kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.
"Mas Gagah belum pulang," kata Mama.
"Yaaaaa, kemana sih, Ma??!" keluhku.

"Kan diundang ceramah di Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus..."
"Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid."
"Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini," hibur mama menepis gelisahku.
Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.
"Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh !" Mama tertawa.
Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.
--=oOo=--

Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.
"Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh..." hibur Mama lagi.
Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.
"Nginap barangkali, Ma?" duga Papa.
Mama menggeleng. "Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!"
Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.
"Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !!" Telpon berdering.
Papa mengangkat telepon. "Halo, ya betul. Apa? Gagah???"
"Ada apa , Pa?" tanya Mama cemas.
"Gagah..., kecelakaan..., Rumah Sakit… Islam...," suara Papa lemah.
"Mas Gagaaaaaahhh!!!" Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.
Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju Cempaka Putih. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.
--=oOo=--

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Informasi yang kudengar, sebuah truk menghantam mobil yang dikendarai Mas Gagah. Dua teman Mas Gagah tewas seketika, sedang kondisi Mas Gagah kritis.
Dokter melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.
"Tapi saya Gita, adiknya, Dok! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!" kataku emosi pada dokter dan suster di depanku.
Mama dengan lebih tenang merangkulku, "Sabar, Sayang..., sabar."
Di pojok ruangan papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.
"Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, suster? Dokter? Ma?" tanyaku. "Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?" air mataku terus mengalir.
Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!
"Mas Gagah, sembuh ya, Mas..., Mas...Gagah..., Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas...Gagah...," bisikku.
Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU kini telah sepi. Tinggal kami dan seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis. Aku berdoa dan terus berdoa. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah..., Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah..., umat juga."
Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. "Ia sudah sadar dan memanggil nama ibu, bapak, dan Gi..."
"Gita.." suaraku serak menahan tangis.
"Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya..., lukanya terlalu parah," perkataan terakhir dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!
"Mas..., ini Gita, Mas...," sapaku berbisik.
Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.
Kudekatkan wajahku kepadanya. "Gita sudah pakai.. jilbab," lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.
Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.
"Dzikir..., Mas,’ suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang...
"Gi...ta..."
Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!
"Gita di sini, Mas..."
Perlahan kelopak matamya terbuka.
Aku tersenyum. "Gita... udah pakai... jilbab...," kutahan isakku.
Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.
"Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas...," ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.
Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah..., sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!
Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.
Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.
Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. "Sebut nama Allah banyak-banyak..., Mas," kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti juga yang diajarkan Mas Gagah, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.
"Laa...ilaaha...illa...llah..., Muham...mad...Ra...sul...Al...lah...," suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.
Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.
Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.
Selamat jalan, Mas Gagah !

Epilog
Buat ukhti manis Gita Ayu Pratiwi,
Semoga memperoleh umur yang berkah,
Dan jadilah muslimah sejati
Agar Allah selalu besertamu.
Sun Sayang,
Mas Ikhwan, eh Mas Gagah !

Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.
Gamis dan jilbab hijau muda, manis sekali. Akh, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.
Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan dik manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya wajah para Mujahid di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi sufistik yang seolah bergema di ruang ini...
Setitik air mataku jatuh lagi.
"Mas, Gita akhwat bukan sih?"
"Ya, Insya Allah akhwat!"
"Yang bener?’
"Iya, dik manis!"
"Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!"
"Kok nanya gitu?"
"Lha, Mas Gagah ada jenggotnya!’
"Ganteng kan?"
"Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?"
"Ya always dong ! Jihad itu... "

Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.
Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.
Selamat jalan, Mas Ikhwan ! Selamat jalan, Mas Gagah !

Tulisan Mba Helvi Tiana Rosa dititipin ke 13304077

Jumat, 23 Oktober 2009

Memang Begitu Menggoda

Tarikan pemenuhan lintasan hati sangat kuat. Menggetarkan dawai-dawai hati yang coba didiamkan. Kehadirannya membuat jantung tak menentu. Berdebar dan tak teratur dalam ritmenya. Bahkan sering menghadirkan peluh yang mengundang gelisah. Sungguh tak sedap.

Tarikan hasrat menghentakkan alam kesadaran sehingga sering terlupa. Diam dalam perenungan sesaat mampu menetralkan. Namun seketika dapat meluap-lupa bahkan mengalahkan kobaran api yang paling dahsyat. Sering ia membakar bangunan kenyamanan dan ketenangan di hati. Dia memang begitu indah walaupun dia memiliki sisi sulit. Ia memang kebutuhan tapi butuh tanggung jawab yang bukan main-main.

Bayangan kenikmatannya menepis keangjuhan jiwa. Namun ia terbantahkan murni di alam logika dan alam nyata. Dia sering melintas bahkan hampir sesering lintasan udara yang masuk ke paru-paru. Terkadang teriakan dan nyanyian juga memicu dia untuk bereaksi. Bahkan tulisan dan gambar juga memberikan kontribusi. Sungguh dawai hati lebih sering bergetar karena hembusan udaranya.

Memang ia begitu menggoda. Ia adalah hasrat yang terkadang berbingkai syahwat, ia adalah bisikan hati yang sering bermandikan desahan tak menentu. ia adalah asa yang sering tersusupi angan. Sangat indah dan sulit untuk didapati sebagai pemberontak. Bukan hal yang luar biasa karena ia terjadi pada insan biasa, ya semua insan.

Ia akan menjadi luar biasa hanya dalam kondisi penanganan yang kurang tepat. Semoga bimbingan-Nya mengantarkan jiwa ini tak bergeming meski godaan itu menerpa seperti kencangnya badai yang paling kencang.

Kamis, 15 Oktober 2009

The Science of a Good Marriage

Why the best marriages are based on deep friendship.

By: Camille Chatterjee

If anyone understands the chemistry of a good marriage, it's John Gottman, Ph.D. For over three decades, Gottman has interviewed almost 700 couples, recording their interactions and monitoring their heart rate and stress levels in his "Love Lab" -- an apartment outfitted with video cameras and sensors. The co-director of the Seattle Marital and Family Institute (with wife and fellow psychologist Julie, also a Ph.D.), Gottman has compiled his well-studied strategies for beating breakups in a new book, The Seven Principles for Making Marriage Work (Crown, 1999).

"At the heart of my program," writes Gottman, a University of Washington psychology professor, "is the simple truth that happy marriages are based on deep friendship. By this I mean a mutual respect for each other's company," plus an intimate knowledge of each other's quirks, likes and dislikes. This explains his surprising finding that frequent fighting is not a sign of a bad marriage (unless, of course, it becomes physical abuse). Because while all couples argue, it is the spouses who are friends first who have the advantage.

Amicable partners are less combative during shouting matches than spouses who don't understand each other. And couples who don't respect or have little connection with one another engage in "negative sentiment override" -- they interpret statements more pessimistically and take comments more personally than other pairs, leading to dissatisfaction.

Spouses who are friends also make more "repair attempts" during a spat; they say or do things -- like make a silly face or bring up a private joke -- that keeps anger from escalating out of control. The key point, Gottman reports, is that partners who know each other better know best what will relieve tension in sticky situations -- so the fighting stops and the marriage goes on (perhaps) happily ever after.

Tiga Tips untuk Menghindari Kemalasan

Rasanya banyak diantara kita yang punya “penyakit” suka menunda-nunda pekerjaan. Penyakit ini, yang sebetulnya adalah kebiasaan, seringkali disebabkan karena kita malas mengerjakan sesuatu. Malas bangun dari tempat tidur, malas pergi olahraga, malas menyelesaikan tugas kantor, dll.

Menurut penelitian, kebiasaan malas merupakan penyakit mental yang timbul karena kita takut menghadapi konsekuensi masa depan. Yang dimaksud dengan masa depan ini bukan hanya satu atau dua tahun kedepan tetapi satu atau dua menit dari sekarang. Contohnya saja ketika Anda malas dari bangun, Anda akan berkata dalam hati: “Satu menit lagi saya akan bangun”, tetapi kenyataannya barangkali Anda akan berlama-lama di tempat tidur sampai akhirnya memang waktunya tiba untuk siap-siap pergi ke kantor.

Kebiasaan malas timbul karena kita cenderung mengaitkan masa depan dengan persepsi negatif. Anda menunda-nunda pekerjaan karena cenderung membayangkan setumpuk tugas yang harus dilakukan di kantor. Belum lagi berhubungan dengan orang-orang yang Anda tidak sukai, misalnya.

Sayangnya, menunda-nunda pekerjaan pada akhirnya akan mengundang stress karena mau tidak mau satu saat Anda harus mengerjakannya. Di waktu yang sama Anda juga mungkin punya banyak pekerjaan lain.

Dalam beberapa hal, Anda pun mungkin akan kehilangan momen untuk berkembang ketika Anda mengatakan “tidak” terhadap sebuah kesempatan –Anda malas bertindak karena bayangan negatif tentang hal-hal yang memberatkan didepan.

Di artikel ini saya ingin memberikan beberapa tips untuk mengatasi rasa malas. Tips ini bisa Anda praktekkan di tempat kerja ataupun lingkungan keluarga:

Ganti “Kapan Selesainya” dengan “Saya Mulai Sekarang”

Apabila Anda dihadapkan pada satu tugas besar atau proyek, Anda sebaiknya JANGAN berpikir mengenai rumitnya tugas tersebut dan membayangkan kapan bisa diselesaikan. Sebaliknya, fokuslah pada pikiran positif dengan membagi tugas besar tersebut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan menyelesaikannya satu demi satu.

Katakan setiap kali Anda bekerja: “Saya mulai sekarang”.
Cara pandang ini akan menghindarkan Anda dari perasaan terbebani, stress, dan kesulitan. Anda membuat sederhana tugas didepan Anda dengan bertindak positif. Fokus Anda hanya pada satu hal pada satu waktu, bukan banyak hal pada saat yang sama.

Ganti “Saya Harus” dengan “Saya Ingin”

Berpikir bahwa Anda harus mengerjakan sesuatu secara otomatis akan mengundang perasaan terbebani dan Anda menjadi malas mengerjakannya. Anda akan mencari seribu alasan untuk menghindari tugas tersebut.

Satu tip yang bisa Anda gunakan adalah mengganti “saya harus mengerjakannya” dengan “saya ingin mengerjakannya”. Cara pikir seperti ini akan menghilangkan mental blok dengan menerima bahwa Anda tidak harus melakukan pekerjaan yang Anda tidak mau.

Anda mau mengerjakan tugas karena memang Anda ingin mengerjakannya, bukan karena paksaan pihak lain. Anda selalu punya pilihan dalam kehidupan ini. Tentunya pilihan Anda sebaiknya dibuat dengan sadar dan tidak merugikan orang lain. Intinya adalah tidak ada seorang pun di dunia ini yang memaksa Anda melakukan apa saja yang Anda tidak mau lakukan.

Anda Bukan Manusia Sempurna

Berpikir bahwa Anda harus menyelesaikan pekerjaan sesempurna mungkin akan membawa Anda dalam kondisi mental tertekan. Akibatnya Anda mungkin akan malas memulainya. Anda harus bisa menerima bahwa Anda pun bisa berbuat salah dan tidak semua harus sempurna.

Dalam konteks pekerjaan, Anda punya kesempatan untuk melakukan perbaikan berulang kali. Anda selalu bisa negosiasi dengan boss Anda untuk meminta waktu tambahan dengan alasan yang masuk akal. Mulai pekerjaan dari hal yang kecil dan sederhana, kemudian tingkatkan seiring dengan waktu. Berpikir bahwa pekerjaan harus diselesaikan secara sempurna akan membuat Anda memandang pekerjaan tersebut dari hal yang besar dan rumit.

Saya harap tulisan ini berguna. Kemalasan merupakan sesuatu yang normal dalam hidup Anda. Karena dia normal maka dia pun bisa diatasi. Tiga tips diatas bisa menjadi awal untuk berpikir dan bertindak berbeda dari biasanya sehingga Anda tidak menyia-nyiakan kesempatan yang datang hanya karena malas mengerjakannya.

cinta totalitas

Detik-detik Rasulullah SAW menjelang sakratul maut

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu.Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi

* * *
Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Kirimkan kepada sahabat-2 muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencinta kita. Karena sesungguhnya selain daripada itu hanyalah fana belaka.