Minggu, 22 November 2009

Sombong Dan Senioritas Bukan Sifat Dai

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:
Puja puji hanya milik Allah Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Pemimpin, teladan, imam para dai Nabi Muhammad saw.

Ikhwah fillah….
Doa dan harap kita kepada Allah swt, semoga kita selalu diberikan curahan rahmat dan inayah-Nya serta kesabaran dalam menapaki jalan dakwah yang begitu panjang dan penuh dengan berbagai rintangan dan hambatan, hanya ridha-Nya yang senantiasa kita harapkan selama kita juga ridha dengan kewajiban dakwah ini, tulus ikhlas dalam menjalankannya, senang terhadap tugas-tugas yang kita emban.
Ikhwah fillah, semoga Allah selalu menjaga kebersihan hati kita.
Bukankah Allah swt telah memilih kita sebagai pengemban amanah dakwah Islam dalam sebuah gerakan Islam yang menginternasional? Allah memberikan kepercayaan kepada kita untuk meneruskan risalah para nabi, khususnya misi dan ajaran Nabi Muhammad saw. Suatu penghargaan besar dari Allah swt yang telah mentakdirkan kita menjadi hamba-hamba-Nya yang dapat berhimpun dalam gerakan dakwah ini; sebab jika kita hormati penghargaan Ilahi ini, kita respon positif amanat tersebut, insya Allah, hasil dan dampaknya tak akan sia-sia, kemuliaan dunia akhirat akan diberikan sesuai dengan janji Allah swt :

Sesungguhnya yang berikrar Robb kami adalah Allah, kemudian beristiqamah, niscaya para Malaikat turun (membawa berita), jangan kalian merasa takut dan sedih, bergembiralah dengan syurga yang dijanjikan. Kami adalah pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan di akhirat kelak, di sana bagi kalian apa yang diinginkan dan yang diminta. Yang diturunkan dari Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang berdakwah ke jalan Allah dan beramal shalih serta berkata sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (Q.S. Fushilat:30-33)
Ikhwah fillah, semoga Allah senantiasa memberkahi persaudaraan kita.
Penghargaan Allah terhadap kita tersebut bukan untuk dibanggakan, lalu merasa tinggi hati, apalagi ujub –na’udzubillah min dzalik- terhadap diri dan menyombongkan diri dengan meremehkan orang lain. semua itu perbuatan terlarang, bahkan tidak pantas rasanya seorang yang diberikan kemuliaan sebagai da’i melakukan sikap dan perbuatan itu.
Lebih dari pada itu –ikhwani- sikap dan perilaku sombong, serta merasa tinggi hati mengakibatkan kerusakan struktur hubungan antara sesama. Bayangkan! Jika manusia saling merendahkan dan meremehkan yang satu dengan yang lainnya. Tidak saling hormat, tidak ada kewibawaan, tidak ada trust (saling tsiqah), tidak ada etika, tidak menghormati tata susila, apa jadinya kehidupan ini jika itu yang terjadi?.
Apa gerangan yang membuat seseorang menjadi sombong, merasa tinggi, merasa lebih hebat dari orang lain???
Ilmu yang dimilikinya? Tidak ada yang harus dibanggakan dari ilmu yang kita miliki. Ilmu itu pada hakikatnya milik Allah, Dia mengajarkan kepada kita sedikit dari ilmu-Nya, maka justru ilmu itulah yang seharusnya memberikan rasa takut kepada Allah :
( إنما يخشى اللهَ من عباده العلماءُ )
Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah para ulama.
Atau seseorang bangga dan merasa tinggi hati karena amal-amal dan aktivitas ibadahnya yang begitu banyaknya??? Bukankah seharusnya semakin tinggi keimanan seseorang dan ketaqwaannya, semakin ia merendahkan hatinya, baik ke hadirat Allah swt, maupun kepada manusia (Adzillatin ‘alal Mu’minin a’izzatin ‘alal kafirin), rendah hati di hadapan orang beriman dan tegas di hadapan orang kafir. Nabi Muhammad saw saja sebagai khoiru khalqillah (sebaik-baik makhluk Allah) dan orang yang paling taqwa dari umatnya, masih dipesankan Allah swt dalam firman-Nya:

Rendahkanlah hatimu kepada pengikutmu orang-orang mukminin (QS asy-Syu’ara: 215).
Bahkan merasa lebih banyak amalnya, lebih tinggi kedudukannya di dalam gerakan dakwah karena merasa lebih dulu aktif dan lebih senior, akan membuat dirinya lebih hina dan lebih buruk dalam pandangan Allah swt. Simaklah pesan-pesan teladan kita Nabi Muhammad saw:
إذا سمعتم الرجل يقول هلك الناس هو أهلكهم (رواه مسلم)
Jika kamu mendengar seseorang berkata “semua orang rusak”, maka dialah orang yang paling rusak (HR Muslim)
كفى بالمرء شرا أن يحقر أخاه المسلم (رواه مسلم)
Cukuplah keburukan seseorang, karena ia menghina saudaranya sesama muslim (HR Muslim).
Atau ada seseorang yang sombong hanya lantaran keturunan dan keluarga besarnya? La haula wala quwwata illa Billah, renungkan kisah Nabi Muhammad tentang 2 orang yang bertikai lantaran saling berbangga dengan kehormatan keluarga besar dan keturunannya. Yang satu berkata kepada kawannya, ” Tahukah kamu siapa aku, aku ini adalah anak keturunan si Fulan, sedangkan kamu seorang anak yang tak punya ibu!” Lalu Nabi mengingatkan seraya bersabda; ” Ada 2 orang yang saling berbangga dengan keturunannya di hadapan Nabi Musa a.s. Salah seorang mereka berkata; “ Aku adalah anak keturunan si Fulan bin Fulan ”, ia sebutkan sampai 9 keturunan. Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa, “ Katakanlah wahai Musa kepada orang yang berbangga tersebut, 9 keturunanmu itu adalah ahli neraka dan engkau yang kesepuluhnya (Riwayat Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid al-Musnad dengan sanad yang sahih, dan Imam meriwayatkannya mauquf pada Muadz dengan kisah Musa saja).
Nabi Muhammad saw juga mengingatkan dalam sebuah hadits, “Seorang yang berbangga dengan keturunannya, sungguh ia menjadi arang api neraka, atau lebih rendah dari hewan yang bermain-main di kotoran sampah” (HR Abu Daud dan Tirmidzi, beliau meng-hasan-kan hadits ini).
Ikhwah fillah, semoga Allah senantiasa menjaga dalam ketaatan kepada Allah.
Salah satu fikrah dakwah kita adalah “Salafiyah” yang menuntut kita untuk meneladani pendahulu kita yang shalih dalam sifat rendah hati mereka. Tidak ada yang merasa lebih hebat betapapun tinggi ilmu yang mereka miliki. Mereka tidak merasa lebih senior betapapun mereka lebih dahulu berbuat dan aktivitas jihad mereka lebih banyak.
Kepemimpinan Nabi Muhammad saw memberikan keteladanan kepada umatnya dalam sikap tawadhu’, sebagaimana berita yang diriwayatkan Anas bin Malik, ia berkata, “Meskipun (kita tahu) bahwa para sahabat adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah, namun mereka tidak pernah berdiri menyambut kedatangan Rasulullah saw, karena mereka tahu bahwa hal itu tidak disenangi Nabi saw” (HR Tirmidzi, hadits hasan).
Aduhai… siapa yang tidak mengenal Abdur-Rahman bin Auf yang sangat disegani di kalangan kaumnya. Namun kepiawaian dan kesenioran beliau tidak membuat dirinya tinggi hati sampai kepada pelayannya sekalipun, hal itu dikisahkan oleh sahabat Abu Darda’, “…..Abdur-Rahman bin Auf sulit dibedakan dengan pelayannya, karena tidak nampak perbedaan mereka dalam bentuk lahiriyahnya”. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, kira-kira peribahasa itulah yang digunakan.
Demikian pula kehebatan Imam Hasan Basri dalam ilmu agama tidak memperdayakan dirinya menjadi seorang yang ‘sok’ atau merasa lebih hebat di hadapan teman-temannya. Suatu saat Hasan Basri berjalan dengan beberapa orang, orang-orang itu berjalan pada posisi di belakang Hasan Basri, maka Hasan Bashripun mencegah mereka (melakukan itu), seraya berkata, “Tidak benar hal ini dilakukan setiap hamba Allah?”.
Sosok tabiin seperti Abu Sofyan ats-Tsauri ternyata juga benar-benar teruji sifat tawadhunya. Saat beliau berkunjung ke Ramallah (di Palestina), Ibrahim bin Ad-ham mengutus seseorang kepada Sofyan untuk meminta agar ia datang bersinggah ke rumahnya, seraya berkata, “Wahai Sofyan kemarilah untuk berbincang-bincang”. Sofyan pun mendatangi Adham. Ketika Adham ditegur seseorang “Mengapa kamu berbuat demikian”. Adham menjawab “Saya ingin menguji ke-tawadhu’-annya”.
Demikian pula jabatan dan kedudukan tidak layak dijadikan alasan untuk berbangga diri apalagi mengusungkan dada “akulah orang besar”. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz ra kedatangan seorang tamu saat ia sedang menulis, saat lampu padam karena terjatuh, sang tamupun berkata: Biarkan aku ambil lampu itu untuk aku perbaiki! Umar Sang Khalifah berkata: Tidak mulia seseorang yang menjadikan tamunya sebagai pelayan. Tamu itu berkata lagi, “Atau saya minta bantuan anak-anak”. Umar Amirul Mukminin berkata: Mereka baru saja tidur (jangan ganggu mereka)”. Kemudian Sang Khalifah pun beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil lampu itu dan memperbaikinya sendiri. Tamu itu terheran-heran seraya berseru, “Wahai Amiril Mukminin, engkau melakukannya itu sendiri? Amiril Mukminin berkata, “Saat saya pergi saya adalah Umar, saat saya kembali pun saya adalah Umar, tidak kurang sedikit pun dari saya sebagai Umar. Sebaik-baik manusia adalah yang tawadhu di sisi Allah swt”. Subhanallah……
Ikhwah fillah, orang-orang yang berhimpun dalam mahabbah dan keridhaan Allah sejatinya mengenyahkan sifat sombong, ‘sok’, senioritas apalagi figuritas. Hiasilah diri Antum dengan tawadhu’, rendah hati, selalu merasa memerlukan tambahan ilmu, pengalaman dan merasa saling butuh dengan sesama ikhwah lainnya.
Akhirnya, ikhwah fillah terimalah taujih Rabbani ini :

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu (Q.S. ِِAl-Isra: 37-38).
Wallahu A’lam

Rabu, 11 November 2009

Jati Diri


Karakter Kader KAMMI

Sebuah benda dikenal manusia karena benda itu berbeda dari benda lain. Sesuatu yang tampak serupa akan sulit untuk dibedakan. Bahkan manusia diakui sebagai manusia karena ia tidak sama dengan yang lain. Ia ada sebagai makhluk yang istimewa dan memiliki kekhasan sendiri. Matahari juga berbeda dari rembulan. Bukankah begitu gampang untuk membedakan matahari dan rembulan? Hal itu tidak terjadi kecuali karena adanya kekhasan yang dimiliki masing-masing. Bahkan sesama manusia juga memiliki keunikan masing-masing. Anak yang dilahirkan kembar sekalipun tetap tidak sama. Allah pun menciptakan makhluk sebagai hamba yang akan sendiri mempertanggungjawabkan perbuatannya semasa ia hidup di alam fana.

Demikian halnya kehidupan secara kolektif. Dua buah universitas unggulan pasti akan berbeda satu sama lain. Ada saja kekhasan tersendiri yang dimiliki masing-masing universitas. Masing-masing universitas (baca:kelompok) memiliki sesuatu yang tidak dimiliki kelompok lain. Begitu juga dengan kehidupan sosial masyarakat; batak identik dengan ulos dan suara keras, jawa identik dengan batik dan kelembutan, dan islam identik dengan Masjid. Secara organisasi, tentunya GMKI tidak pernah sama dengan HMI, GMKK tidak akan pernah sama dengan LDK dan IMM juga tidak akan pernah sama dengan MMI. Begitu pula KAMMI sudah tentu tidak sama dengan LDK dan organisasi lainnya.

Itulah karakter. Satu hal yang mampu mendefenisikan sesuatu dengan detail. Jati diri yang menjadi pola tersendiri dalam perilaku dan akhlak seseorang. Sebenarnya hal ini berkaitan dengan sistem pembentukan diri di dalam kelompok itu sendiri. Berbagai perlakuan yang diperoleh individu akan membentuk suatu pola kejiwaan yang akan menjadi karakter. Hal ini yang akan menjadi khas pada diri individu itu.

Oleh karena itu, KAMMI sebagai organisasi kader tentu sudah mempersiapkan segala hal yang akan memberikan perkembangan ke arah pembentukan jati diri itu. Hal ini juga berarti KAMMI sudah menentukan karakter kadernya. Karakter seperti apa yang diinginkan oleh KAMMI? Jawaban dari pertanyaan inilah yang semestinya menjadi pengetahuan yang mendalam bagi kader KAMMI.

KAMMI adalah organisasi pergerakan. Untuk melakukan pergerakan itu dibutuhkan pribadi yang kokoh. Pribadi yang mampu menghadapi berbagai cobaan dan fitnah dalam perjuangan KAMMI. Oleh sebab itu, karakter ini harus betul-betul tertanam kuat pada individu yang mengaku kader KAMMI. Karakter itu meliputi:

1. Pemikir yang ikhlas

A llah swt menganugerahkan akal kepada manusia sebagai pembeda yang nyata dari binatang dan makhluk yang lain. Allah swt melalui ayat-ayat-Nya di dalam Al quran mengisyaratkan penggunaan akal secara optimal. A falata’qiluun. Demikian sindiran yang nyata tentang penggunaan akal. KAMMI menghargai potensi ini sebagai fitrah manusia yang memang dari awal penciptaannya sudah dibekali dengan akal.

Jadi, kader KAMMI adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka. Bertindak sesuai dengan pemahaman. Tidak ada intervensi dari siapapun. Tidak ada satu orang pun yang mampu memaksanya untuk berbuat. Segala sesuatu diletakkan atas dasar yang jelas sesuai dengan asas KAMMI, Islam. Standard kebenaran yang dipakai KAMMI adalah wahyu ilahi dan petunjuk Allah melalui utusan-Nya. Dalam meletakkan posisi wahyu dan nalar, KAMMI menundukkan akal di bawah bimbingan wahyu.

Pergerakan dilakukan atas dasar pemahaman bukan taklid. Bukan ikut-ikutan dan bukan menjadi plagiat (tukang contoh). Kader KAMMI adalah pelopor dalam setiap proyek kebaikan dan proyek anti-kebatilan. Ia adalah para pendobrak pertama. Ia juga adalah orang-orang anti status quo, perancang yang produktif dan individu yang paling pandai meciptakan dan memanfaatkan momentum.

Pergerakan dilakukan atas dasar keikhlasan. Ikhlas adalah bahan dasar utama pergerakannya. Karena pergerakan yang dilakukan merupakan panggilan nurani yang bersih dan peka terhadap permasalahan umat. Sehingga, ia tidak akan pernah peduli dengan pujian taupun cacian yang dilontarkan oleh para pencaci. Ia juga tidak pernah teriming-imingi dengan kedudukan yang menggiurkan. Ia bergerak atas panggilan nurani dan dipersembahkan secara utuh kepada penciptanya. Hanya balasan dari-Nya yang diharapkan oleh kader KAMMI. Yang terpenting baginya adalah pergerakan yang dilakukan tidak berseberangan dengan keinginan penentu syariat kehidupan manusia, Allah swt. Jadi kader KAMMI adalah orang yang paling memahami keinginan syariat Islam dan menjadi pembangunnya yang paling kokoh. Ia tidak ragu dengan Q.S 9:105.

2. Pemberani

Kader KAMMI adalah para pemberani yang memiliki mental baja, percaya diri yang tinggi dan keyakinan yang kokoh. Tidak ada satu makhlik pun yang mampu menggetarkan hatinya apalagi membuatnya tertunduk dan takluk. Bahaya yang paling besar sekalipun menjadi indah di matanya jika hal itu demi tertegak syariat-Nya. Hukum yang ia yakini dan fahami adalah ketentuan yang ditetapkan oleh yang berhak membuat hokum, Allah swt.

Ia hanya takut dan tunduk kepada pemilik alam semesta. Ia hanya takut Allah menjadi murka dan tidak meridhoi kehidupan dan perjuangannya. Ia lebih takut jika melakukan sedikit kesalahan di hadapan tuhannya daripada berhadpan dengan bala tentara musuh yang siap menghabisi nyawanya. Sedikit hal yang tidak Allah senangi lebih ia sesali,jika ia melakukannnya, daripada kehilangan harta bendanya.

Ketundukannya secara utuh hanya ia persembahkan bagi Allah semata. Ia adalah prajurit yang senantiasa menaati perintah dari tuhannya. Ibarat prajurit dan komandan, maka ia adalah prajurit teladan dalam melakukan perintah Allah swt. Tidak ada pertanyaan yang ia lontarkan jika perintah itu datang dari tuhannya. Ia tidak pernah tunduk pada hukum manapun kecuali hukum Allah.Ketakutan dan ketundukannya kepada Allah mengalahkan segalanya. Ia hanya takut Allah murka karena kelalaiannya.

Seluruh harapan telah ia serahkan kepada-Nya. Sehingga tidak akan pernah ada khawatir di hatinya dalam melakukan perjuangan karena ia yakin akan janji-Nya. Sesungguhnya allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Ia menjadi berani karena Allah akan menolong dan memenangkannya. Ia senantiasa ingat dengan janji tuhan-Nya di dalam Q.S 47:7.

3. Pejuang Sejati

Kader KAMMI adalah insan pejuang dengan mental baja. Atas nama Al haq ia berjuang. Ia senantiasa bergairah untuk berharakah dan bergerak. Ia bukan dari golongan orang-orang yang melarikan diri dari perjuangan. Ia juga bukan orqang yang enggan berangkat dan melakukan perjuangan. Ia senantiasa merancang proyek kebaikan. Dan lebih dari itu, ia adalah orang yang senantiasa berpeluh karena melaksanakan proyeknya. Proyek untuk membangun kehidupan yang dipenuhi berkah dan ridha tuhannya.

Kader KAMMI adalah individu yang senantiasa memiliki optimisme yang tinggi. Keyakinannya yang tidak pernah pudar adalah kemenangan perjuangannya menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Setiap geraknya ditarik oleh kemenagan itu. Sehingga dirinya tidak pernah berhenti ataupun bisa dihentikan. Ia hanya akan berhenti pada pusara usia. Saat tiba masa menemui Rabb-nya, barulah ia beristirahat sempurna.

4. Cermat dan tidak takut pada risiko

Kader KAMMI adalah individu yang penuh kecermatan. Insan yang selalu hati-hati dan waspada. Perhitungnnya matang dan akurat. Ia memahami segala konsekuensi dari perjuangannya. Namun,ia bukan orang yang takut menanggung itu semua. Konskuensi perjuangan adalah katalisator pergerakannya.

Dalam berjuang, cita-cita tertingginya adalah syahid. Kemuliaan yang cari adalah syahid. Satu hal yang paling ia rindukan adalah syurga. Ia menjadi penebar aroma surga kepada setiap hamba-Nya dan di setiap tempat ia berada. Waktunya senantiasa dibingkai dzikir. Tilawah Al quran menjadi desah napasnya. Saling memberikan nasihat dalam kebaikan dan kesabaran adalah jalinan masa yang ia lalui. Kebiasaanya adalah melakukan diskusi-diskusi yang bermanfaat dan jauh dari kesia-siaan. Kerja-kerja nyata demi perbaikan masyarakat menjadi amal andalannya.

Kader KAMMI adalah putra tunggal dakwah. Ia menjadi pekerja yang paling tekun dalam membangunnya. Perputaran dakwah menjadi rute kehidupannya. Rute hidupnya berhenti dan bergerak senada dengan dakwah. Ia ibarat kumbang dakwah. Menjadi penyebar dakwah yang paling progresif. Benih dakwah ia semaikan di segala penjuru. Ia juga menjadi pondasi dakwah yang paling kokoh. Kekokohan dakwah adalah kekokohan dirinya dan kekokohan dirinya adalah kekokohan dakwah. Ia adalah bangunan dakwah itu.

5. Islamic iron stock

Kader KAMMI senantiasa mempersiapkan diri untuk masa depan islam. Ia tidak suka berleha-leha. Pesimis tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Ia menjadi udara pemberi kehidupan. Ia hadir di semua lini kehidupan untuk memberikan kebaikan. Ia melakukan proyek-proyek yang terencana. Ia adalah insan progressif dan anti kejumudan. Status quo baginya adalah penjara sejati.

Bagi kader KAMMI, kehidupan dalah tempat untuk belajar. Ia adalah generasi pembelajar sejati. Ia terus belajar untuk mempersiapkan diri menjadi perebut kemenangan. Sebuah kemenangan yang akan ia serahkan hanya untuk islam.

6. Intelektual pejuang kemaslahatan

Kader KAMMI adalah ilmuwan yang tajam analisisnya. Datanya akurat dan pendapatnya penuh kearifan. Ia adalah generasi anti kebatilan. Ia adalah pejuang kepentingan umat. Muslihat musuh tidak pernah mampu melukainya bahkan menyentuh kulitnya. Ia disenangi kawan dan disegani lawan. Ia adalah pejuang yang taat beribadah dan ahli ibadah yang tekun berjuang.

Ia akan tampil sebagai pemimpin bermoral, teguh pada prinsip dan penebar kemaslahatan bagi masyarakat. Ia menjadi guru yang memberikan pemahaman dan keteladanan. Ia menjadi sahabat yang tulus dan penuh kasih sayang bagi masyarakatnya. Ia menjadi relawan yang tidak pernah dikenal. Ia merupakan pemberi solusi bagi permasalahan masyarakatnya, diminta ataupun tidak. Ia adalah warga yang ramah dan penuh tanggung jawab terhadap masalah umat.

Kader KAMMI adalah manajer yang cermat, efektif dan efisien. Ia gagah berani dan pintar bersiasat. Kesetiaannya tidak perlu diragukan. Daya diplomasinya tidak tertandingi. Ia cermat dalam membangun wacana, memiliki pergaulan yang luas dan jaringan komunikasi yang kokoh. Ia adalah orang yang memiliki percaya diri yang tinggi dan selalu bersemangat. Ia tidak minimalis apalagi loyo.

Begitulah karakter yang terpancar dari kader KAMMI. Itulah yang membuat ia tidak sama dengan kader yang lainnya. Kader seperti inilah yang siap menjadi oposisi kebatilan. Wallahua’lam.

Adab Pergaulan Sukses


Adab Interaksi Sosial dalam Kehidupan Muslim (Adabut Ta'amul Fil Jama'ah)
Manusia adalah makhluq sosial, dia tak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun, saling tolong-menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil alamin ajaran Islam. Maka Islam menganjurkan ummatnya untuk saling ta’awun dalam kebaikan saja dan tidak dibenarkan ta’awun dalam kejahatan ( QS Al Maaidah:2)

Oleh karena itu manusia selalu memerlukan oranglain untuk terus mengingatkannya, agar tak tersesat dari jalan Islam. Allah SWT mengingatkan bahwa peringatan ini amat penting bagi kaum muslimin.

“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” (Adz Dzariyat: 55)

Bahkan Allah SWT menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan kesabaran dalam kelompok orang yang tidak merugi hidupnya. (QS: Al Ashr: 1-3). Maka hendaknya ummat Islam mngerahkan segala daya dan upayanya untuk senantiasa mengadakan tashliihul mujtama’, perubahan ke arah kebaikan, pada masyarakat dengan memanfaatkan peluang, momen yang ada.

Jika kita berada di bulan Ramadhan maka bisa melakukan ta’awun, misalnya dengan saling membangunkan untuk sahur, mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu selama menjalankan puasa. Mengingatkan agar jangan menyia-nyiakan puasa dengan amalan yang dilarang syari’at, dsb. Di bulan Syawal, lebih ditingkatkan lagi dengan hubungan sosial yang berkelanjutan, mengesankan. Bulan Dzulhijjah juga momen penting untuk merajut kembali benang-benang ukhuwah. Tentu saja hari-hari selain itu perlu kita tegakkan aktivitas-aktivitas sosial yang memang merupakan seruan Islam.

1. Silaturahim

Islam menganjurkan silaturahim antar anggota keluarga baik yang dekat maupun yang jauh, apakah mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkatagorikan tindak “pemutusan hubungan silaturahim” adalah dalam dosa-dosa besar.

“Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahim” (HR. Bukhari, Muslim)

2. Memuliakan tamu

Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat terhormat. Dan menghormati tamu termasuk dalam indikasi orang beriman.

“…barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR. Bukhari, Muslim)

3. Menghormati tetangga

Hal ini juga merupakan indikator apakah seseorang itu beriman atau belum.

“…Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR. Bukhari, Muslim)

Apa saja yang bisa dilakukan untuk memuliakan tetangga, diantaranya:

- Menjaga hak-hak tetangga
- Tidak mengganggu tetangga
- Berbuat baik dan menghormatinya
- Mendengarkan mereka
- Menda’wahi mereka dan mendo’akannya, dst.

4. Saling menziarahi.

Rasulullah SAW, sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qois bin Saad bin Ubaidah di rumahnya dan mendoakan: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluatga Saad bin Ubadah”. Beliau juga berziarah kepada Abdullah bin Zaid bin Ashim, Jabir bin Abdullah juga sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan betapa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.

“Abu Hurairah RA. Berkata: Bersabda Nabi SAW: Ada seorang berziyaroh pada temannya di suatu dusun, maka Allah menyuruh seorang malaikat (dengan rupa manusia) menghadang di tengah jalannya, dan ketika bertemu, Malaikat bertanya; hendak kemana engkau? Jawabnya; Saya akan pergi berziyaroh kepada seorang teman karena Allah, di dusun itu. Maka ditanya; Apakah kau merasa berhutang budi padanya atau membalas budi kebaikannya? Jawabnya; Tidak, hanya semata-mata kasih sayang kepadanya karena Allah. Berkata Malaikat; Saya utusan Allah kepadamu, bahwa Allah kasih kepadamu sebagaimana kau kasih kepada kawanmu itu karena Allah” (HR. Muslim).

5. Memberi ucapan selamat.

Islam amat menganjurkan amal ini. Ucapan bisa dilakukan di acara pernikahan, kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa. Dengan menggunakan sarana yang disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa menggunakan kartu ucapan selamat, mengirim telegram indah, telepon, internet, dsb.

Sesungguhnya ucapan selamat terhadap suatu kebaikan itu merupakan hal yang dilakukan Allah SWT terhadap para Nabinya dan kepada hamba-hamba-Nya yang melakukan amalan surga. Misalnya;

“Sampaikanlah kabar baik, kepada mereka yang suka mendengarkan nasihat dan mengikuti yang baik daripadanya” (Az Zumar: 17).

“Maka Kami memberi selamat kepada Ibrahim akan mendapat putra yang sopan santun (sabar)”. (Al Maidah: 101),

Rasulullah SAW juga memberikan kabar gembira (surga) kepada para sahabatnya semisal, Abu bakar RA, Umar bin Khaththab RA, Utsman RA, Ali RA, dsb.

6 Peduli dengan aktivitas sosial.

Orang yang peduli dengan aktivitas orang di sekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan, serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.

“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang lain dan sabar dengan gangguan mereka lebih baik dari mukmin yang tidak mau bergaul serta tidak sabar dengan gangguan mereka” (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi, dan Ahmad).

7. Memberi bantuan sosial.

Orang-orang lemah mendapat perhatian yang cukup tinggi dalam ajaran Islam. Kita diperintahkan untuk mengentaskannya. Bahkan orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong golongan lemah, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal yang mulia ini dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama.

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Al Maa’un: 1-3).

BERINTERAKSI DENGAN NON MUSLIM

- Muamalah dengan yang setimpal.
- Tidak mengakui kekufuran mereka.
- Berbuat yang adil terhadap mereka dan menahan diri dari mengganggu mereka.
- Mengasihani mereka dengan rohamh insaniyah.
- Menumjukkan kemuliaan akhlaq muslim dan izzah Islam.

Dari uraian-uraian di atas jelaslah bahwa Islam menuntut ummatnya untuk menerapkan perilaku-perilaku kebaikan sosial. Untuk lebih luas lagi dapat dikatakan bahwa wujud nyata atau buah dari seorang mu’min yang rukuk, sujud, dan ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melakukan aktivitas kebaikan. Seorang yang menyatakan diri beriman hendaknya senantiasa menyuguhkan , menyajikan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat. Jika setiap orang yang beriman rajin melakukan hal ini, maka lingkungan kita akan “surplus kebaikan”. Dus, defisit keburukan.

Sementara yang terjadi sekarang adalah tata kehidupan sosial masyarakat yang “surplus keburukan”. Seseorang tidak akan merasa aman membawa uang dalam jumlah besar di jalan raya, di bus kota. Orang tidak tenang meninggalkan hartanya tanpa adanya sistem keamanan yang ketat. Fenomena seperti orang mudah sekali terprovokasi untuk anarkhi, mudah sekali berkelahi, masalah kecurangan, tipu menipu dalam perdagangan, dan sebagainya yang meliputi di hampir setiap bidang kehidupan kita. Semua membuat sesaknya nafas kehidupan ini. Memang sebenarnya negara ini bukan disesakkan oleh jumlah penduduknya tetapi akhlaq yang buruklah yang menyesakkan dada.

Atas dasar inilah harus dibuat arus kebaikan, budaya kebaikan, sehingga orang mudah menemukan kebaikan dimana saja dia berada. Seseorang mudah mendapatkan salam dan senyum ketika bertemu orang lain walaupun belum saling kenal, tidak mudah curiga terhadap yang lain, banyak orang yang mampu menahan marah, mendapati orang suka berbuat baik, menolong dsb. Kondisi kehidupan seperti ini layaknya kehidupan zaman Rasulullah SAW, ataupun para salafush sholeh, dimana banyak orang berbuat baik tanpa disuruh dan diminta, hanya kerena mengharap ridho Allah SWT semata. Kita masih ingat kisah dua orang di zaman salafush shaleh, sedang mengadakan tarnsaksi jual beli sebidang tanah. Tanah telah dibeli oleh seorang pembelinya dan diolah tanah tersebut, ternyata dia mendapatkan sebatang emas dalam timbunan tanah tsb. Lantas dikembalikannya emas itu kepada si penjual, tapi ditolaknya, lantaran dia telah menjual semuanya apapun didalamnya. Namun si penemu emas (pembeli) tak bersedia menerima kembali karena dia hanya bermaksud membeli tanah. Terjadilah cek-cok saling menolak batangan emas. Akhirnya diadukan ke qodli, dan diputuskan dengan adil. Orang yang menemukan emas menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan si penjual tanah, dengan mahar emas tsb. Maka selesailah masalah.

Demikianlah jika setiap kita suka berlomba dalam kebaikan maka dampaknya, yang akan menikmati hasilnya adalah kembali ke kita juga. Yaitu sebuah kehidupan yang kita impikan, surplus kebaikan.

Di zaman sekarang ini surplusnya kebaikan hanya terjadi dalam waktu dan tempat yang tertentu saja. Misalnya hanya di bualan Ramadhan saja orang menahan marah, suka shodaqoh, jujur, dsb, dan setelah itu amalan tersebut langka. Di tempat tertentu misalnya hanya di seputar Ka’bah ketika bulan Hajji, di sana sering didapatkan orang memberikan uangnya kepada siapa saja yang ditemuinya, bahkan ada yang menyebarnya. Di Kuwait ketika Ramadhan telah tiba, saat menjelang ifthor, banyak warga yang membuka warung makan dan mempersilakan siapa saja untuk ifthor di sana, gratis!

Sungguh nikmat jika adat seperti itu berjalan di sepanjang waktu dan di setiap tempat. Namun yang terjadi setelah bulan itu berlalu, kehidupan berjalan sebagaimana yang sebelumnya.

Untuk itu hanya orang-orang mu’minlah satu-satunya manusia harapan untuk menciptakan peradaban seperti itu.

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Al Hajj: 77).

BAGAIMANA ADAB BERINTERAKSI DENGAN MASYARAKAT?

Dengan atau tanpa da’wah, interaksi dengan masyarakat adalah suatu kemestian sosial. Bagi seorang muslim untuk menyebarkan rahmat Islam bagi semesta alam tentu dilakukan dnegan berinteraksi dengan masyarakat. Terlebih jika dikaitkan dnegan da’wah. Karena karakter da’wah sendiri harus berbaur dengan masyarakat (mukholathoh), yaitu dengan mukholathoh yang ijabi (positif).

Dengan demikian thobiah da’wah itu adalah da’wah ammah. Da’wah khoshshoh bukan merupakan suatu badil (pengganti) bagi da’wah ammah tetapi lebih merupakan unsur penunjangnya. Karena da’wah ammah belum dapat dimunculkan sebagaimana mestinya. Berinteraksi dengan masyarakat dimulai dari yang terdekat dengan kita. Kita melihatnya dengan mizanud da’wah, sementara sikap atau asas berinteraksi dengan masyarakat adalah mu’amalah bimitsli. Sedangkan sikap ta’amul da’wah adalah ‘amilun naas bimaa tuhibbu ‘an tu’aamiluuka bih. Bagaimana atau apa yang seharusnya kita berikan kepada masyarakat

A. BERINTERAKSI DENGAN PARA DA’I YANG LAIN

Adapun yang dimaksud dengan da’i di sini adalah para da’i yang belum indhimam satu shaf dengan kita.

1. Kita memiliki tujuan umum yang sama yaitu membela Islam dan memajukan ummat.

2. Namun kita tetap menyadari adanya perbedaan dalam khiththah dan uslub (cara kerja).

3. Menjalin kerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap toleran dalam hal yang ikhtilaf.

4. Menyenangi ijma’ untuk mencapai wihdatul fikriyah dan tidak menyenangi nyleneh (syadz). Karena syadz berbeda dengan ghorib. Syadz tidak punya akar apapun juga (misalnya adanya pemikiran dari Ahmadiyah yang mengatakan bahwa semua orang baik kafir atau muslim masuk surga. Atau pemikiran Gus Dur yang mengomentari ayat; wa lan tardlo ‘ankal yahud….dst, sudah tak berlaku lagi). Sedangkan grorib adalah pemikiran yang baik, tetapi tidak dikenal oleh masyarakat.

5. Toleransi dalam masalah khilaf dan furu’ dan membenci ta’shub.

6. Persoalan apaun tidak perlu merusak mawaddah di anatara kaum muslimin.
Pernah As Syahid difitnah bahwa Jinah Asykari akan menyerang Jama’ah Jihad. Tentu saja pimpinan Jama’ah Jihad marah dan meminta dialog dengan Asy Syahid untuk mengeluarkan segala uneg-unegnya. Asy Syahid hanya menjawab dengan “sammihuuni”, maafkan saya.

7. Khilaf hendaknya dikaji secara ilmiyah, tidak hanya terhenti sebagai apologetik (pembelaan) saja.

B. BERINTERAKSI DENGAN TOKOH MASYARAKAT

1. Di tempatkan pada posisinya.

Sikap Rasul kepada Abu Sufyan. Rumahnya dijadikan baitul qoshid. Kedudukannya tidak direbut tetapi di ta’ziz.

2. Dihormati di tengah-tengah para pengikutnya.

Sa’ad bin Muadz ketika diberikan kehormatan untuk mengambil putusan hukum atas bani Quraidzah, Rasul SAW bersabda: “Quumuu ilaa sayyidatikum”.

3. Sebitkan juga jasa-jasa mereka kepada Islam.

Ketika khalifah di Tsaqifah, pidato Abu bakar sangat bijak. Ia menyebut-nyebut nikmat Islam, jasa-jasa kaum Anshar dan kebaikan-kebaikan Muhajirin. Dengan begitu kaum Anshar ikut mendukung.

Dalam sebuah munasabah, Asy Syahid juga pernah diminta untuk mengisi acara semacam tabligh. Namun sayangnya panitia kurang memiliki fiqhul mujtama’ sehingga terjadi konflik dengan ulama di sekitar tempat acara. Setelah diceritakan oleh panitia mengenai konflik tersebut kepada Asy Syahid sebelum acara dimulai, akhirnya Asy Syahid mohon ijin untuk mendatangi para ulama di sekitar itu satu per satu untuk memohon maaf kepada mereka. Setelah itu baru ia memulai ceramah. Dua per tiga dari isi ceramahnya, menyebut-nyebut kebaikan dan jasa-jasa para ulama tersebut terhadap Islam. Akhirnya para ulama mendatangi tempat dimana Asy Syahid berceramah.

4. Berhubungan dengan mereka dan mendo’akan mereka.

Rasulullah menghububgi tokoh Thoif serta mendo’akan mereka.

Umar Tilmitsani ketika Sadat meninggal dunia, ia mengucapkan do’a; “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” yang membuat ikhwah tercengang.

5. Memperhatikan kepentingan bersama.

Mulailah pembicaraan dari titik-titik persamaan, jangan dari titik perbedaan.

Asy Syahid memulai dari point-point yang sama kemudian mendudukkan point-point yang berbeda.

ADABUT TA’AMUL FIL JAMA’AH

“Sesungguhnya jikalau engkau tak bersama mereka maka engkau tak akan bersama selain mereka. Sekiranya mereka tak bersama engkau, maka mereka akan bersama selain engkau”.

A. DENGAN DA’WAH

1. Lepaskan hubungan dengan lembaga/jama’ah manapun terutama (dan secara khusus) lagi jika engkau diminta untuk itu.

Hidup dalam sebuah jama’ah memang dituntut untuk tajarrud dan profesional di dalamnya. Kadangkala seorang a’dho’ (anggota jama’ah) diminta untuk masuk dalam organisasi tertentu dengan tujuan untuk belajar (on mission), menjalin hubungan, dsb. Namun adakalanya juga kita diminta untuk meninggalkannya. Mungkin karena lembaga tersebut dinilai membahayakan secara siyasi, aqidah, fikroh ataupun lainnya. Atas dasar itulah seorang a’dho’ harus memahami betul akan permintaan jama’ahnya dan diterimanya dengan legowo. Sebab sebuah jama’ah pasti mempunyai arah dan tujuan dalam menjalankan manhajnya. Semua tentunya telah disyurokan terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang terkait. Setiap a’dho jama’ah berperan dalam menjalankan tugasnya dengan sebuah ikatan amal jama'i.

2. Menghidupkan budaya Islami.

a. At tahiyat (salam).

Abdullah bin Amru bin Al-ash r.a. berkata: Seorang bertanya kepada Rasulullah s.a.w: “Apakah yang terbaik di dalam Islam? Nabi s.a.w. menjawab: Memberi makanan dan memberi salam terhadap orang yang kau kenal atau tidak kau kenal” (HR. Bukhari, Muslim)

Salam, selain do’a juga merupakan pintu pembuka komunikasi. Hendaknya salam ini kita budayakan, karena dampaknya cukup besar terhadap peradaban Islam yang akan datang. Ketika seorang muslim yang belum kita kenal diberi salam maka dia akan membalas salam dan biasanya dilanjutkan jabat tangan, akan terjadi komunikasi, kontak hubungan, selanjutnya terserah anda, apakah akan berkenalan atau silaturahim, dari sinilah muncul benih-benih ukhuwah, dst. Karena itulah Abdullah bin Umar RA sengaja menyempatkan diri untuk pergi ke pasar, dan ia mengucapkan salam kepada setiap muslim yang dijumpainya, sampai suatu saat dia ditanya oleh seseorang; “Apa yang anda perbuat di pasar? Anda bukan seorang pedagang, tidak pula membeli dagangan, Anda juga tidak duduk dalam kepengurusan pasar, mengapa anda selalu ada di pasar? Jawab Ibnu Umar, ‘Aku sengaja setiap pagi pergi ke pasar hanya untuk mengucapkan salam kepada setiap muslim yang aku temui” (HR. Bukhari).

b. Bahasa Arab.

Bahasa Arab adalah bahasa kesatuan kaum muslimin sedunia, bahasa yang digunakan untuk komunikasi Allah SWT. dengan hamba-Nya (Rasulullah SAW) berupa Al Quran. Bahasa yang telah dipilih oleh Allah SWT. ini adalah bahasa yang paling sempurna di antara bahasa-bahasa yang ada di bumi ini. Suatu bahasa yang tetap akan terjaga asholah-nya (keaslian) sampai hari qiyamat, tak akan terkontaminasi oleh lajunya peradaban dunia. Tidak seperti bahasa lain yang mudah tercemar seiring dengan globalisasi dan majunya peradaban. Misalnya saja bahasa Indonesia atau bahasa Inggris seratus tahun yang lalu tak mudah dipahami oleh manusia/ bangsanya pada saat ini.

Seseorang tak akan mampu memahami Islam dengan benar tanpa melalui kidah bahasa Arab. Menafsirkan Al qur’an wajib menggunakan kaidah bahasa Arab, bukan dengan kaidah/tata bahasa bahasa selainnya. Seorang muslim tak akan mungkin (mustahil berpisah dari bahasa Arab). Untuk itu kita mesti medalami dan mensyi’arkannya dalam kehidupan sehari hari. Asy Syahid Hasan Al Bana telah mewasiatkan: “ takallamul lughatal ‘arabiyatal fushkha fainnaha min sya’airil islam” (Berbicaralah dengan menggunakan bahasa Arab karena hal ini merupakan bagian dari syi’ar Islam). Shahabat Umar bin Khattab RA. pernah mengatakan: ”ta’allamul lughatal ‘arabiyah fainnaha min diinikum” (Pelajarilah bahasa Arab karena dia adalah bagian dari dien kalian). Juga hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dengan sanad dari Malik:

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb itu satu, bapak itu satu, dan agama itu satu. Bukanlah Arab di kalangan kamu itu sebagai bapak atau ibu. Sesungguhnya , Arab itu adalah lisan (bahasa), maka barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang Arab”.

Demikianlah kaum muslimin sedunia telah disatukan dan dipersaudarakan dengan satu bahasa, bahasa Arab. Kita akan jaya dengan bahasa Arab.

c. Penanggalan.

Urgensi penanggalan hijriyah:

Hijrah adalah moment terpenting dalam sejarah dakwah islamiyah. Hijrah adalah masa peralihan dalam sejarah kaum muslimin. Sebelum hijrah mereka adalah ummatud da’wah. Mereka menyampaikan da’wah Allah swt. kepada manusia tanpa didukung basis politis yang bisa melindungi para da’I-nya atau menangkal serangan musuh kepada mereka.

Setelah hijrah berdirilah daulatud da’wah. Satu kedaulatan yang di pundaknya terletak tanggung jawab menginternasionalisasikan Islam ke seluruh jazirah arab dan sekitarnya.

Maka tak heran jika masa keemasan khalifah Umar bin Khaththab RA telah sepakat menjadikan tahun hijrah nabawiyah sebagai permulaan penanggalan Islami. Pada waktu itu Khalifah Umar mengumpulkan sejumlah sahabat dan meminta pendapat mereka mengenai penanggalan Islami. Tujuannya adalah bahwa dengan penanggalan tsb mereka bisa mengetahui kapan saatnya melunasi hutang, dan lain-lain yang berkaitan dengan penanggalan.

Seorang sahabat memberi usulan untuk membuat penanggalan seperti Parsi, yang lain mengusulkan seperti Romawi, namun Umar RA menolaknya. Ada juga yang mengusulkan penanggalan berdasarkan kelahiran Rasulullah SAW, berdasarkan tahun diutusnya Rasulullah SAW, hijrahnya atau wafatnya beliau.

Namun pada akhirnya khalifah Umar RA cenderung membuat penanggalan berdasarkan hijrahnya Rasulullah SAW, dengan pertimbangan bahwa hijrah adalah babak baru munculnya Islam dan hal yang tidaka asing lagi bagi kaum muslimin.

Umar RA tidak mau membuat penanggalan dengan bi’tsah Nabi SAW meskipun hal tersebut penting. Hal ini disebabkan bi’tsah dan masa setelah itu Islam dan kaum muslimin dalam kondisi lemah, mereka mustadl’afin, tak punya kekuatan apa-apa. Sementara pucuk pimpinan saat itu adalah Abu Jahal, Abu Lahab, Walid bin Mughirah dkk. Maka dari hal tsb tidaklah logis kalau dibuat penanggalannya karena tiadak mempunyai sejengkalpun daerah kekuasaan. Sedangkan Hijrah Nabawiyah merupakan “unjuk gigi” baik dalam konsep maupun qiyadah. Semua para sahabat tak terkecuali punya andil dalam membuat peristiwa-peristiwa hijrah dan sesudahnya. Setelah itu mereka menguatkannya dengan daulah Islamiyah.

Penanggalan hijrah menunjukkan betapa kuat dan hebatnya jihad dan perjuangan ummat Islam. Sejarah tak mungkin diukir satu orang saja, meski ia mempunyai kemampuan lebih, bahkan ia seorang nabi atau rasul. Sesungguhnya yang membuat sejarah adalah ummat secara keseluruhan, yaitu ummat yang berdiri di pihak rasul-Nya atau qo’id-nya. Sudah berapa banyak rasul yang dikecewakan dan dihinakan oleh kaumnya sendiri dan mereka tak bisa berbuat apa-apa. Maka sesungguhnya ummat sekarang ini terpanggil untuk membuat sejarahnya dengan jiwa mereka sendiri.

Dengan demikian kaum muslimin menjadi excelent (mutamayyiz) tidak mengekor ataupun menyerupai, Yahudi, Nashrani ataupun Majusi, dll. Kita menginginkan kepribadian yang bersih tak terkontaminasi dengan fikroh kafir yang membahayakan. Sudah menjadi aksioma bahwa di antara pilar-pilar suatu ummat adalah sejarahnya yang mereka banggakan yang akan menjadi ukiran peristiwa sejarah dengan penuh perjuangan dan titik darah penghabisan.

d. Busana.

Untuk wanita hendaknya senantiasa menutupkan aurat-nya ketika keluar rumah, dalam hal ini perintah Allah SWT sudah jelas. Hindari pakaian yang menimbulkan fitnah, ataupun perdebatan. Akan tetapi walaupun sudah menutup aurat jika terlalu mewah ataupun terlalu kumuh akan membuat peluang orang untuk menggunjingnya (dosa). Perhatikan juga warna dan corak yang tidak mencolok hingga menarik perhatian banyak orang. Sementara untuk laki-laki jangan memakai pakaian yang tasabuh (meniru) orang kafir. Seperti berpakaian dengan pakaian yang biasa (khusus) dipakai oleh para rahib atau pendeta, biksu, dsb. Hindari pakaian dengan gambar, assesoris, simbul agama tertentu, ataupun juga gambar dan tulisan jorok. Hal ini selain tidak berakhlaq juga akan mengusik kebersihan hati orang lain. Untuk pakaian yang bertuliskan kata-kata tertentu, perhatikan jangan sampai mengganggu konsentrasi orang lain, misalnya ketika shalat berjamaah di masjid. Bayangkan saja jika antum memakai kaos yang di belakangnya ada tulisan “mburiku munyuk”, padahal antum menjadi imam shalat!

Untuk pakaian di masjid hendaknya memakai yang terbaik yang kita miliki, terutama shalat Jum’at. Dalam berbusana yang terpenting adalah memenuhi syarat, yaitu menutup aurat, (tidak menampakkan ataupun menonjolkannya) dan tidak tasabuh, setelah itu bisa menyesuaikan adat setempat. Jadi tidak harus berjubah dan bersorban ala Arab. Namun jika hal itu untuk menandakan rasa cinta terhadap Rasul SAW dalam hal berpakaian maka tentunya tidak mengapa. Akan tetapi hendaknya melihat kondisi masyarakat setempat. Jika mereka anti pati dan semakin menjauhi kita gara-gara pakaian , maka itu belum prioritas untuk diterapkan.

3. Mengenal ikhwah du’at dengan ma’rifah yang sempurna dan sebaliknya.

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara” (Al Hujurat:10).

Ukhuwwah, setelah generasi pertama ummat Islam berlalu, telah hanya menjadi kata-kata penghias bibir kaum muslimin dan khayalan belaka di benak mereka, sampai kita datang dengan ukhuwah islamiyahnya. Kita telah berusaha menerapkannya di kalangan kita dan menginginkan kembalinya ikatan ummat yang saling bersaudara dengan jiwa ukhuwah islamiyah. Memang untuk meng- ukhuwah islamiyah-kan masyarakat, kita harus mewujudkan dahulu dalam kalangan kita sendiri.

Ikhwah berarti saudara sedarah, sekandung. Setiap mu’min kita jadikan sebagai saudara sekandung, lebih dari sekedar teman kerabat. Rukun ukhuwah adalah ta’aruf, tafahum dan takaful. Ta’aruf yang sempurna adalah dengan mengenali seluruh jati dirinya; fisik, pola berpikir (baca: fikroh), dan jiwanya. hendaknya kita tidak lalai dalam hal ini, sebab akan dapat membawa resiko.

Pernah dalam suatu acara mukhoyyam ikhwah, ketika sedang mengadakan perjalanan yang panjang di malam hari melewati bukit-bukit berbatu, jurang yang dalam, menyeberangi sungai nan deras, seorang ikhwah “hilang” dari barisan Setelah cukup lama, peserta baru sadar ada satu anggota yang “hilang”. Pemandu segera menyusur balik dan akhirnya ditemukan. Usut punya usut ternyata ikhwah yang tertinggal tersebut mempunyai penyakit rabun senja. Untunglah dengan izin Allah SWT al-akh tsb selamat, tak masuk jurang.

Demikianlah satu akibat jika kita tak pernah mengenali ikhwah kita sendiri (fisiknya). Dan mungkin al akh yang menderita sakit tersebut sebelumnya juga tak pernah mengenalkan dirinya kepada ikhwah lainnya. Untuk itu bersegeralah mengenali ikhwah sedini dan sesempurna mungkin, sebaliknya kita juga mengenalkan diri kita kepada ikhwah. Selanjutnya tafahum dan takaful akan terwujud serta membentuk bangunan yang kuat seiring dengan kadar soliditas ukhuwah kita.

4. Menunaikan kewajiban maaliyah.

Jihad, selain memerlukan personil (rijal) juga membutuhkan finansial (maal). Dahulu seorang Mujahid Muslim menyiapkan sendiri perlengkapan, kendaraan dan perbekalan perangnya. Tak ada gaji bulanan yang diterima oleh para pimpinan dan prajurir. Yang ada hanya suka rela menyumbangkan harta dan jiwa. Itulah yang diperbuat oleh aqidah bila telah menjadi landasan tegaknya sistem dan undang-undang.

Dahulu kaum muslimin yang miskin ingin berjihad membela manhaj Allah SWT dan panji aqidah, tak memiliki apa yang bisa dijadikan bekal untuk dirinya dan tak memiliki perlengkapan serta kendaraan. Kemudian mereka menghadap Nabi SAW meminta agar diikutsertakan ke medan pertempuran yang jauh, yang tak bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Bila Nabi SAW tak mendapatkan apa yang bisa dipakai untuk membawa mereka maka; “mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan” (At Taubah:92)

Banyak ayat Al Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk infaq di jalan Allah SWT. Ajakan berjihad sering diiringi dengan ajakan untuk berinfaq. Ada juga dalam ayat Al Qur’an yang mengidentikkan orang yang tak berinfaq dengan kebinasaan.

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah , dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Al Baqarah:195).

Tak mau berinfaq di jalan Allah SWT adalah tindakan membinasakan jiwa dengan sifat kikir, disamping membinasakan jama’ah dengan ketidakberdayaan dan kelemahan, khususnya dalam suatu sistem yang didasarkan pada suka rela, sebagaimana dalam sistem Islam.

Suatu saat seorang sahabat bernama Abu Dahdah dirinya merasa tersindir ketika Rasul SAW dalam khutbahnya terkesan sedang membutuhkan dukungan dana. Lantas Abu Dahdah mengatakan; “Yaa Rasulallah, saya mempunyai kebun (yang luasnya 600 pohon kurma), itu semua akan saya infaqkan fi sabilillah”. Kemudian Abu Dahdah pulang dan konfirmasi kepada istrinya bahwa kebunnya sudah menjadi milik kaum muslimin. Istrinya berkomentar; “robahal bai’..” (perniagaan yang menguntungkan). Karena kebun yang sepetak itu akan diganti dengan kebun surga. Subhanallah..

Marilah kita galakkan syi’ar ini (zakat, infaq, shodaqoh, dsb) untuk menggapai ridha Allah SWT.

“Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai ridha Allah, maka (yang berbuat demikan) itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya” (Ar rum:39).

Di samping itu kita juga diperintahkan untuk membangun syarikat-syarikat islami untuk membangun ekonomi ummat Islam. Ummat Islam yang tengah bangkit membutuhkan penanganan atas urusan ekominya, karena ia merupakan persoalan paling penting saat ini. Islam sama sekali tak mengesampingkan masalah ini, bahkan ia telah meletakkan kaidah dasar dan konsep-konsepnya secara jelas dan tuntas. Lihatlah bagaimana Allah SWT. mengingatkan kita untuk menjaga harta, menjelaskan nilainya dan kewajiban untuk memperhatikannya.

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna aqalnya, harta yang dijadikan Allah sebagai kehidupan…”.(An Nisa’:5)

Allah SWT berfirman mengenai keseimbangan antara infaq dan penghasilan.

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, yang karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. (Al Isra:29)

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak miskin orang yang hemat”

Sebagaimana harta itu membawa manfaat kepada pribadi, maka harta itupun akan membawa manfaat kepada ummat. Rasulullah saw bersabda:

“Sebaik-baik harta adalah harta yang ada orang-orang shalih”.

Sistem ekonomi yang baik -apapun namanya dan dari manapun sumbernya- akan diterima oleh Islam. Dan ummat pun akan didorong untuk mendukung dan menumbuhsuburkannya. Asy Syahid Hasan Al Bana telah berwasiat untuk memperhatikan aspek ini, dengan menggalakkan kegiatan perekonomian, membuka lapangan kerja, menangkal penindasan praktek monopoli. Selain itu juga pengelolaan zakat yang profesional.

5. Menyebarkan da’wah dan membentuk keluarga atas hal itu.

Hal ini sudah ditegaskan oleh Asy Syahid dalam risalah ta’lim-nya bab amal. Pembentukan keluarga muslim, yaitu dengan mengkondisikan keluarga agar menghargai fikrahnya, menjaga etika islam dalam setiap aktivitas kehidupan rumah tangganya, memilih istri yang baik dan menjelaskan kepadanya hak dan kewajibannya, mendidik anak-anak dan pembantunya dengan didikan yang baik, serta membimbing mereka dengan prinsip-prinsip islam.

Bimbingan terhadap masyarakat, yaitu dengan menyebarkan da’wah, memerangi perilaku yang kotor dan munkar, mendukung perilaku mulia, utama, melakukan amar ma’ruf, bersegera mengerjakan kebaikan, menggiring opini umum untuk memahami fikrah islamiyah dan mencelup praktek kehidupan dengannya terus menerus. Itu semua adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap sebagai pribadi, juga kewajiban bagi jama’ah sebagai institusi yang dinamis.

Demikianlah bahwasanya keluarga adalah miniatur masyarakat Islam. Robohnya nilai Islam dalam keluarga maka roboh pula nilai Islam di masyarakat. Jika kita menginginkan daulah islamiyah (yang berarti menegakkan nilai-nilai Islam dalam sebuah kehidupan bermasyarakat dan bernegara), maka tegakkan dulu di hatimu maka akan tegak di bumimu. Ingat jargon yang salimah ini: “takun daulatal islamiyah fi qolbika takun fi ardlika”.

6. Mengenal harakah islamiyah.

Hal ini perlu dilakukan agar kita mengerti medan da’wah yang dihadapi, sehingga bisa diatur taktik dan strateginya. Adapun yang perlu kita ketahui berkaitan dalam hal ini antara lain: nama gerakan, manhaj-nya, nama pendirinya, nama pemimpinnya sekarang, sejarah berdirinya, markasnya, jaringannya, tokoh-tokohnya, buku-buku rujukannya, produk-produknya, bentuk-betuk aktivitasnya, karakteristik gerakannya, kebaikan dan kekurangannya.

Untuk mengetahui masalah ini kita perlu aktif mengadakan diskusi, tatsqif dan membaca buku terkait. Dan yang penting kita harus senantiasa “buka mata buka telinga” untuk terus mencari informasi dan mengikuti perkembangannya.

B. MA’AL MAS’UL (KETUA/PIMPINAN)

- Dalam da’wah Ikhwanul Muslimin seorang pemimpin mempunyai hak orang tua dalam hubungan ikatan hati, dan ustadz dalam hubungan memberikan ilmu.

- Seperti halnya seorang syaikh dalam hubungan tarbiyah ruhiyah.

- Menjadi pemimpin dalam hubungan dengan kebijakan politik bagi da’wah secara umum dan da’wah kita menghimpun seluruh nilai-nilai ini.

1. Taat, yaitu melaksanakan perintah dan merealisasikannya dalam kondisi semangat atau malas dan dalam kondisi sulit ataupun mudah.

“Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam keadaan senang maupun benci, kecuali perintah untuk maksiat, karena tak ada ketaatan terhadap makhluq dalam bermaksiyat kepada Allah” (HR. Muslim).

Jama’ah, dalam merealisasikan tujuannya pastilah membutuhkan jundi yang taat dan memahami akan tuntutannya. Ingatlah juga syurut tajnid Asy Syahid Hasan Al Bana; faham, ikhlash, amal, jihad, pengorbanan, taat, tajarrud, tsabat, ukhuwwah, tsiqoh. Tuntutan demikan amatlah logis dan tidak mengada-ada. Organisasi jahat kaliber internasional pun menuntut hal yang identik demikian, bahkan kadang tidak logis. Para agen Mossad Yahudi bahkan tak segan-segan untuk membunuh anggotanya jika terbukti berkhianat. Jama’ah da’wah tidaklah demikian, orang boleh masuk dan tak akan menahan yang mau keluar darinya. Masing-masing akan memetik buahnya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.

Jama’ah kita mempunyai tujuan yang amat mulia, perjuangannya melibatkan antar generasi dalam rentang waktu yang tak terbatas, menegakkan kalimattullah hiyal ‘ulya sampai dunia ini musnah. Hanya tentara Allah SWT sajalah yang mampu menegakkannya, bukan orang yang leda-lede.

2. Tsiqoh, tentramnya jiwa dengan seluruh yang keluar darinya.

Ibarat seorang tentara yang merasa puas dengan komandannya, dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan kepuasan yang mendalam yang menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan serta ketaatan.

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka esuatu keberatan terhadap sesuatu keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa’ (4):65).

Pemimpin adalah unsur penting dalam dalam da’wah; tak ada da’wah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqoh yang timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin menjadi neraca yang menentukan sejauhmana kekuatan sistem jama’ah, ketahanan khthithah-nya, keberhasilannya mewujudkan tujuan, dan ketegarannya menghadapi tantangan. Tsiqoh kepada pemimpin adalah segalanya dalam keberhasilan da’wah. Untuk mengetahui kadar ke-tsiqoh-an dirinya terhadap mas’ul-nya bertanyalah kepada diri sendiri dengan tulus mengenai beberapa hal sbb:

- Sejauhmana mengenal mas’ul tentang riwayat hidupnya

- Kepercayaan terhadap kapasitas dan keikhlasannya.

- Kesiapan menerima perbedaan pendapat dengan mas’ul, dan mas’ul telah memberi perintah dan atau larangan yang berbeda dengan pendapat kita.

- Kesiapan meletakkan seluruh aktivitasnya dalam da’wah, dalam kendali mas’ul.

3. Minta izin, jama’ah mengetahui segala kondisimu dan selalu ada hubungan ruh dan aktivitas dengan jama’ah.

Sebenarnya bergerak dalam suatu jama’ah adalah tugas, tanggung jawab, amanat yang harus dipikul oleh pemimpin beserta seluruh anggotanya. Kesemuanya harus terkoordinasi rapi ibarat sebuah bangunan yang kokoh bershaf-shaf. Tidak boleh saling menelantarkan, berperilaku bahaya dan saling membahayakan. Tidak menyempal dari jama’ah atau hilang dari “peredaran” jama’ah dalam kurun waktu tertentu. .Harus ada jalinan komunikasi yang efektif serta terus menerus ber-musyarokah. Asy Syaikh Musthafa Masyur pernah memberi taujihat yang luar biasa: “Mutu jama’ah tergantung dari mutu harokah (gerakan), mutu harokah tergantung dari mutu musyarokah (berserikat), mutu musyarokah tergantung dari mutu muhawaroh (komunikatif, saling keterbukaan), dan mutu muhawaroh tergantung dari bagaimana mutu ukhuwahnya”.

4. Memuliakan mas’ul.

Memuliakan, menghormati mas’ul tidak semata-mata didasarkan kepada diri mas’ul, tetapi karena dirinya dipandang sebagai lambang jama’ah yang mengibarkan bendera Islam untuk menyerukan hidayah ke ummat manusia. Setiap gerakan yang merugikan kedudukan pemimpin akan merusak citra dan keutuhan jama’ah

5. Merahasiakan nasihat.

Di antara sifat mu’min adalah suka nasihat menasehati dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran. Ketinggian kedudukan mas’ul tidak boleh menjadi penghalang untuk itu, dalam rangka untuk memperbaiki amal dan menghindarkan hal-hal negatif. Tidak boleh merasa berat dalam memberi nasihat, begitu juga mas’ul harus lapang dada, dan bersyukur dalam menerimanya.

“Ad dien itu adalah nasihat. Kami bertanya, ‘untuk siapa?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan orang orang awamnya” (HR. Muslim).

Adapun adab yang harus kita jaga dalam memberi nasihat kepada mas’ul adalah dengan memilih ketepatan suasana dan cara. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berilah nasihat dalam bentuk yang paling baik, dan nasihat tersebut hendaknya diterima menurut bentuknya. Kedua, dengan menasihatinya secara diam-diam berarti telah menghormati dan memperbaikinya. Sebab jika kita menasihatinya dengan cara terang-terangan di hadapan orang banyak, seolah kita telah mempermalukan dan merendahkannya. Ketiga, tatkala memberi nasihat maka hati/niat kita tidak boleh berubah walau sehelai rambutpun. Tidak merasa lebih mulia, tidak menggurui sehingga menjadikan obyek seolah-olah seorang pesakitan yang penuh dengan kekurangan. Rasa cinta dan hormat kepadanya tak bergeser sedikitpun.

C. DENGAN IKHWAH (SAUDARA SEPERJUANGAN)

1. Husnudzon dan memohonkan maaf pada mereka.

2. Menampakkan cinta pada mereka dan menahan marah karena kelalaian mereka.

“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (Ali Imron:134)

Manusia adalah tempatnya salah dan lalai. Baik diri kita maupun saudara kita tak luput dari sifat itu. Adalah tidak adil jika kita memarahi saudara, apalagi memutuskan hubungan dengannya ketika lalai. Justru yang paling baik adalah dengan menesihatinya. Setinggi-tinggi martabat pergaulan adalah dengan tetap menjalin kasih sayang baik ketika lalai maupun ingat. Seperti itulah salah satu ciri kehidupan masyarakat muslim.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (Al Fath:29)

Bahkan kadang kala kecintaan itu kita ikrarkan. Abu Kuraimah bin Ma’diy Karib Ra berkata; Bersabda Rasulullah SAW: “Jika seorang mencintai saudaranya, maka beritahukanlah kepadanya bahwa ia mencintainya karena Allah” (Abu Dawud).

Sedangkan anjuran untuk menahan marah cukuplah nasihat Rasulullah SAW ketika seseorang datang kepada beliau dan berkata: “Nasihatilah saya”, kemudian Nabi SAW bersabda: “Jangan marah”, kemudian orang itu meminta mengulangi nasihat lagi, jawab Nabi :“Jangan marah” (HR Bukhari).

Marah itu menghimpun berbagai kejahatan dan setiap kejahatan membawa dosa, sedangkan menahannya adalah menangkal dosa yang berarti memetik pahala surga.

Muadz bin Anas berkata: Bersabda Rasulullah SAW: ”Siapa yang menahan marah padahal ia mampu memuaskannya, maka kelak di hari qiyamat Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluq, kemudian disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi).

3. Mendo’akan mereka ketika ghaib

“Mintalah ampun untuk dosamu sendiri dan untuk kaum muslimin lelaki dan perempuan” (Muhammad: 19)

Wujud ukhuwah Islamiyah yang telah dibina Rasulullah SAW ketika periode hijrah sangat nyata, bukan seruan bibir semata. Mereka saling mengutamakan kebutuhan saudaranya yang baru dibina itu Mereka saling memberikan harta bahkan jiwanya untuk sebuah persudaraan karena Allah SWT. Mereka juga memberikan do’anya.

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman” (Al Hasyr: 10)

Abu Darda’ RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Do’a seorang muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan yang dido’akan itu do’a yang mustajab, di atas kepala orang yang berdo’a itu ada Malaikat yang ditugaskan supaya tiap ia berdo’a baik untuk saudaranya itu supaya disambut: amin wa laka bi mitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu)” (HR. Muslim).

4. Bantulah saudaramu baik dalam kondisi mendzolimi atau terdzolimi, yaitu mencegah kejahatannya.

D. DENGAN MUAYYID (PENDUKUNG)

1. Tawazun dalam menilai/memuji, mereka bukanlah segalanya sampai tak menghiraukan yang lain, dan tidak pula meremehkan mereka sehingga kita jadikan mereka sebagai kasta rendah tak bernilai.

2. Mendahulukan yang terpenting dari yang penting, dan permulaan yang terbaik adalah menempatkan aqidah dalam hati

3. Sedikit dalam nasihat.

4. Menghindari cara menggurui, meskipun dengan argumen yang jitu.

5. Hindari jawaban langsung atau kritik pedas

6. Hati-hati dari penyia-nyiaan potensi dengan penyembuhan/membuang urusan-urusan yang sepele atau debat yang tak bermanfaat.

7. Menganggap mereka (mad’u) cerdas dan berilmu, maka jangan terlalu memperpanjang dalam menjelaskan yang aksiomatik (badihiyat).

8. Setiap ucapan ada tempatnya, setiap tempat ada perkataannya, “khotibun naas ‘ala qodri ‘uqulihim “ (maka sampaikanlah pada manusia menurut kadar akalnya).

9. Mempelajari kondisinya dan mengetahui akan halnya:

Jangan mencacinya apabila terlambat dari kegiatan

Jangan memaksanya ke dalam pekerjaan tertentu

Jangan membebani melebihi kemampuan

10. “Membina tidak cukup sehari semalam”.

11. Jadilah qudwah baginya dalam segala sesuatu (“amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” Ash Shoff: 3)

12. Terus menerus dalam menda’wahi sampai tampak hasilnya.

E. DENGAN IKHWAN (SAUDARA-SAUDARA SEPERJUANGAN)

1. Husnudzon dan memohonkan maaf pada mereka

2. Menampakkan cinta dan menahan marah serta dendam

“Janganlah kamu meremehkan perbuatan ma’ruf sedikitpun, walaupun sekedar menunjukkan wajah yang berseri ketika bertemu dengan saudaramu” (HR.Muslim)

3. Mendo’akan mereka ketika ghaib. (“Do’a seorang muslim kepada saudaranya terkabulkan dalam kesendiriannya, pada kepala orang itu ada malaikat yang ditugaskan setiap dia berdoa kebaikan untuk saudaranya, malaikat berkata: amin dan akan mendapatkan seperti itu pula”) HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Darda’.

4. Mengakui pertolongan mereka baik dalam senang atau duka sebagai ungkapan bahwa kekuatannya (baca:kita) tidak mungkin bergerak sendiri dalam kehidupan.

5. Tidak suka mencelakakan mereka dan bersegera untuk menghilangkannya/ menolak.

6. Saling menolong, “tolonglah saudaramu baik saat mendzolimi atau saat terdzolimi, yaitu dengan mencegahnya”.

7. Mempermudah urusan-urusan yang sulit.

Salah satu dari ciri seorang muslim adalah suka mempermudah segala urusan yang dialami saudaranya.

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan” (Al Baqarah:185)

“Ajarilah olehmu dan mudahkanlah olehmu dan jangan kamu mempersulit, dan jika salah seorang di antara kamu ada yang marah, maka hendaklah kamu diam” (HR. (Bukhari).

Dari Ummul Mu’minin RA:

“Jika menghadapi dua perkara, Rasulullah akan memilih yang termudah, jika kiranya tidak mengandung dosa. Maka jika urusan itu mengandung dosa, seluruh manusia harus menjauhinya. Dan apa yang menjadi pendirian Rasulullah SAW dalam menghadapi sesuatu, ialah tidak membalas dendam kepada siapapun jika yang disakiti itu hanya dirinya sendiri, kecuali jika larangan Allah telah dilanggar, maka beliau akan marah, dan membalasnya semata-mata hanya karena Allah” (HR. Muttafaq ‘alaih).

Abu Qatadah RA berkata:

“Aku mendengar Rasulullah SAW berkata, ”Barangsiapa yang memudahkan kesulitan muslim lainnya, untuk mendapatkan keselamatan dari Allah dari kesulitan-kesulitan hari kiamat, maka mudahkanlah kesulitan (orang lain) atau melepaskan bebannya” (HR. Muslim).

8. Memberikan nasihat.

Tak tersisa dalam hidup ini kecuali tiga kelompok: Seorang dimana kamu mendapatkan bergaul/ma’asyaroh dengannya, kalau kamu menyimpang dari jalur dia meluruskanmu, dan dia memberikan cukup kehidupanmu, tidak ada seorang yang bisa membebanimu, dan sholat di masjid jami’ kamu terhindar dari lupa padanya dan mendapatkan penghalang. (Perkataan Hasan Al Bashri).

Dan berkata Al Muhasibiy, “Ketahuilah orang yang menasihatimu sungguh dia mencintaimu, dan barangsiapa yang menjilat kamu maka dia menipumu/mengujimu, dan siapa yang tak menerima nasihatmu bukanlah saudaramu”.

F. DENGAN MUROBBI (PENDIDIK)

1. Penghargaan dan memuliakan mereka karena Allah SWT telah menjadikan mereka sebab masuknya kalian ke dalam bintang yang besar (jama’ah) meskipun kalian mendahuluinya.

Adab dalam bergaul dengan murobbi adalah dengan memuliakannya karena Allah SWT, memohonkan do’a bagi mereka. Karena mereka adalah orang-orang sholeh yang telah meghantarkan kita ke jalan Allah SWT. Tidak diperkenankan bagi kita untuk mencelanya, membesar-besarkan keburukannya dan berpaling bahkan membutakan diri dari kebaikan-kebaikan yang telah kita terima. Kita hendaknya bersabar dalam berjuang bersama-sama mereka, tidak terprovokasi oleh orang-orang hendak yang menjerumuskan, melemahkan atau membelokkan arah jalan da’wah kita, misalnya ada yang sering mengatakan kita dengan eksklusif, taqlid buta, jumud, tarbiyah tak akan mendapatkan apa-apa dan bukan segalanya untuk apa diteruskan, dan suara-suara miring lainnya. Ingatlah firman Allah SWT.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya di pagi hari dan senja hari dengan mengharap ridha-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan mereka adalah kaum yang melampaui batas” (Al Kahfi:28).

Dahulu kita dalam keterpurukan jahiliyah, dan sekarang tampak kemilau cahaya keislaman, kemudian memasukkan kita ke dalam sebuah gerakan besar, mewujudkan segala potensi yang selama ini terpendam, serta mengikatnya dengan jalinan ruhul islami.

“Manusia itu ibarat barang tambang seperti logam emas dan perak, terpandangnya mereka ketika masa jahiliyah akan terpandang juga ketika masa islamnya, jika mereka telah memahami. Adapun ruh-ruh itu ibarat laskar tentara yang siap tempur, maka yang saling mengenal akan intim, sedangkan yang tidak mengenal akan berceceran” (HR. Bukhori dan Asy Syaikhoni)

Siapakah yang mengasah dan membentuknya ke arah itu? Adalah para murobi tercinta!

2. Sesungguhnya mereka bukan ustadz-mu dahulu saja, maka jangan kalian putus mereka, dan hormatilah mereka serta keluarga mereka untuk di ziyarahi.

3. Terus menerus menyebut kebaikan mereka dan melupakan keburukan mereka.

Selasa, 10 November 2009

hadits

#
Mutiara Hadist
Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')." (hadits shahih riwayat Muslim) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). (Mereka adalah) orang-orang shalih yang berada di tengah orang-orang yang berperangai buruk. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada yang mengikuti mereka" (hadits shahih riwayat Ahmad) "Berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba'). Yaitu mereka yang mengadakan perbaikan (ishlah) ketika manusia rusak." (hadits shahih riwayat Abu Amr Ad Dani dan Al Ajurry)

Sabtu, 07 November 2009

Manajemen Redaksional

PRINSIP-PRINSIP DASAR MANAJEMEN DALAM MEDIA MASSA

Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal.Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Sementara itu, Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal; dalam berbagai bidang seperti industri, pendidikan, kesehatan, bisnis, finansial dan sebagainya. Dengan kata lain efektif menyangkut tujuan dan efisien menyangkut cara dan lamanya suatu proses mencapai tujuan tersebut. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI: 553, 1990) menyebutkan, manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mecapai sasaran.

Bagaimana Menerapkan Kebijakan dan Strategi?
1. Semua kebijakan harus didiskusikan dengan semua personel manajerial dan staf.
2. Manajer harus mengerti dimana dan bagaimana mereka menerapkannya.
3. Rencana sebuah tindakan harus diberitahukan pada setiap departemen.
4. Kebijakan dan strategi harus diperiksa ulang secara berkala.
5. Perencanaan cadangan harus dipikirkan dalam kasus perubahan.

Fungsi Manajemen
Manajemen beroperasi melalui bermacam fungsi, biasanya digolongkan pada perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan atau motivasi dan pengaturan.
1. Perencanaan: memutuskan apa yang harus terjadi esok hari dan seterusnya dan membuat rencana untuk dilaksanakan.
2. Pengorganisasian: membuat penggunaan maksimal dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana dengan baik.
3. Leading/Kepemimpinan dan Motivasi: memakai kemampuan di area ini untuk membuat yang lain mengambil peran dengan efektif dalam mencapai suatu rencana
4. Pengendalian: monitoting – memantau kemajuan rencana, yang mungkin membutuhkan perubahan tergantung apa yang terjadi


Tingkatan Manajemen Keredaksian

Pimpinan Redaksi merupakan manajemen tingkat atas. Bertugas merencanakan kegiatan dan strategi keredaksian secara umum dan mengarahkan jalannya proses redaksi. Middle management atau manajemen tingkat menengah bertugas sebagai penghubung antara manajemen puncak dan manajemen lini pertama, misalnya Wakil Pimpinan Redaksi atau Redaktur Pelaksana. Lower management atau manejemen lini pertama (first-line management) adalah manajemen yang memimpin dan mengawasi tenaga-tenaga operasional. Manajemen ini dikenal pula dengan istilah manajemen operasional. Umumnya para redaktur halaman atau redaktur desk. Ada khusus halaman ekonomi, politik, pendidikan, kriminal, hukum dst.

Manajemen Mengandung Lima Fungsi:
1. perencanaan
2. pengorganisasian
3. kepemimpinan
4. koordinasi
5. pengaturan

Manajemen Keredaksian
Manajemen keredaksian dapat diartikan proses antar orang yang merupakan satu kesatuan secara efektif dalam sebuah organisasi media massa untuk mencapai tujuan atau sasaran. Manajemen keredaksian adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi dan pemeliharaan orang-orang dengan tujuan membantu mencapai tujuan organisasi (pers), individual dan masyarakat. Paling penting adalah bagaimana individu-individu yang terlibat dalam organisasi harus mampu terlebih dahulu memanajemen pribadinya masing-masing. Manajemen pribadi tersebut meliputi beberapa hal antara lain: perencanaan kegiatan, pengorganisasian kegiatan, pelaksanaan kegiatan, evaluasi kegiatan dan pengawasan kegiatan dengan pemanfaatan waktu seefektif dan seefisien mungkin. Bila tiap individu di dalam organisasi menyadari betul akan posisi masing-masing dengan job description (deskripsi tugas) yang jelas dan tegas, maka perencanaan akan mudah dibangun dan diterapkan.

Ada dua bagian besar sebuah penerbitan pers atau media massa:
1. Bagian Redaksi (Editor Department) dan
2. Bagian Pemasaran atau Bagian Usaha (Business Department).

Bagian Redaksi dipimpin oleh Pemimpin Redaksi. Bagian Pemasaran dipimpin olen Manajer Pemasaran atau Pemimpin Usaha. Di atas keduanya adalah Pemimpin Umum (General Manager). Ada juga Pemimpin Umum yang merangkap Pemimpin Redaksi.

Bagian Redaksi tugasnya meliput, menyusun, menulis, atau menyajikan informasi berupa berita, opini, atau feature. Orang-orangnya disebut wartawan. Redaksi merupakan merupakan sisi ideal sebuah media atau penerbitan pers yang menjalankan visi, misi, atau idealisme media.Bagian Redaksi dikepalai oleh seorang Pemimpin Redaksi. Di bawah Pemred biasanya ada Wakil Pemred yang bertugas sebagai pelaksana tugas dan penanggungjawab sehari-hari di bagian redaksi. Pemred/Wapemred membawahi seorang atau lebih Redaktur Pelaksana yang mengkoordinasi para Redaktur (Editor), Koordinator Reporter atau Koordinator Liputan (jika diperlukan), para Reporter dan Fotografer, Koresponden, dan Kontributor. Termasuk Kontributor adalah para penulis lepas (artikel) dan kolumnis.
Di Bagian Redaksi ada pula yang disebut Dewan Redaksi atau Penasihat Redaksi. Biasanya terdiri dari Pemred, Wapemred, Redpel, Pemimpin Usaha, dan orang-orang yang dipilih menjadi penasihat bidang keredaksian. Ada pula yang disebut Staf Ahli atau Redaktur Ahli, yakni orang-orang yang memiliki keahlian di bidang keilmuwan tertentu yang sewaktu-waktu masukan atau pendapatnya sangat dibutuhkan redaksi untuk kepentingan pemberitaan atau analisis berita. Bagian lain yang terkait dengan bidang keredaksian adalah Redaktur Pracetak yang membidangi tugas Desain Grafis (Setting, Lay Out, dan Artistik) serta Perpustakaan dan Dokumentasi. Dalam hal tertentu, bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dapat masuk ke bagian Redaksi.


Tugas
Pemimpin Umum (General Manager)
Ia bertanggung jawab atas keseluruhan jalannya penerbitan pers, baik ke dalam maupun ke luar. Ia dapat melimpahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum kepada Pemimpin Redaksi sepanjang menyangkut isi penerbitan (redaksional) dan kepada Pemimpin Usaha sepanjang menyangkut pengusahaan penerbitan.

Pemimpin Redaksi
Pemimpin Redaksi (Editor in Chief) bertanggung jawab terhadap mekanisme dan aktivitas kerja keredaksian sehari-hari. Ia harus mengawasi isi seluruh rubrik media massa yang dipimpinnya. Di suratkabar mana pun, Pemimpin Redaksi menetapkan kebijakan dan mengawasi seluruh kegiatan redaksional. Ia bertindak sebagai jenderal atau komandan yang perintah atau kebijakannya harus dipatuhi bawahannya. Kewenangan itu dimiliki katena ia harus bertanggung jawab jika pemberitaan medianya ?digugat? pihak lain. Pemimpin Redaksi juga bertanggung jawab atas penulisan dan isi Tajuk rencana (Editorial) yang merupakan opini redaksi (Desk opinion). Jika Pemred berhalangan menulisnya, lazim pula tajuk dibuat oleh Redaktur Pelaksana, salah seorang anggota Dewan Redaksi, salah seorang Redaktur, bahkan seorang Reporter atau siapa pun dengan seizin dan sepengetahuan Pemimpin Redaksi yang mampu menulisnya dengan menyuarakan pendapat korannya mengenai suatu masalah aktual.

Dewan Redaksi
Dewan Redaksi biasanya beranggotakan Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan Wakilnya, Redaktur Pelaksana, dan orang-orang yang dipandang kompeten menjadi penasihat bagian redaksi. Dewan Redaksi bertugas memberi masukan kepada jajaran redaksi dalam melaksanakan pekerjaan redaksional. Dewan Redaksi pula yang mengatasi permasalahan penting redaksional, misalnya menyangkut berita yang sangat sensitif atau sesuai-tidaknya berita yang dibuat tersebut dengan visi dan misi penerbitan yang sudah disepakati.

Redaktur Pelaksana
Di bawah Pemred biasanya ada Redaktur Pelaksana (Managing Editor). Tanggung jawabnya hampir sama dengan Pemred/Wapemred, namun lebih bersifat teknis. Dialah yang memimpin langsung aktivitas peliputan dan pembuatan berita oleh para reporter dan editor.

Redaktur
Redaktur (editor) sebuah penerbitan pers biasanya lebih dari satu. Tugas utamanya adalah melakukan editing atau penyuntingan, yakni aktivitas penyeleksian dan perbaikan naskah yang akan dimuat atau disiarkan. Di internal redaksi, mereka disebut Redaktur Desk (Desk Editor), Redaktur Bidang, atau Redaktur Halaman karena bertanggung jawab penuh atas isi rubrik tertentu dan editingnya. Seorang redaktur biasanya menangani satu rubrik, misalnya rubrik ekonomi, luar negeri, olahraga, dsb.

Redaktur Pracetak
Setingkat dengan Redaktur/Editor adalah Redaktur Pracetak atau Redaktur Artistik. Ia bertanggung jawab menangani? Naskah Siap Cetak? (All In Hand/All Up) dari para redaktur, yaitu semua naskah berita yang sudah diturunkan ke percetakan dan sudah diset bersih, desain cover dan perwajahan (tataletak, lay out, artistik), dan hal-ihwal sebelum koran dicetak. Bagian lain di yang berada di bawah koordinasi Redaktur Pracetak adalah Setter atau juruketik naskah. Ia bertugas mengetik naskah yang akan dimuat. Ada pula Korektor yang bertugas mengoreksi (membetulkan) kesalahan ketik pada naskah yang siap cetak.

 Reporter
Di bawah para editor adalah para Reporter. Mereka merupakan prajurit di bagian redaksi. Mencari berita lalu membuat atau menyusunnya, merupakan tugas pokoknya.

 Fotografer
Fotografer (wartawan foto atau juru potret) tugasnya mengambil gambar peristiwa atau objek tertentu yang bernilai berita atau untuk melengkapi tulisan berita yang dibuat wartawan tulis. Ia merupakan mitra kerja yang setaraf dengan wartawan tulisan (reporter). Jika tugas wartawan tulis menghasilkan karya jurnalistik berupa tulisan berita, opini, atau feature, maka fotografer menghasilkan Foto Jurnalistik (Journalistic Photography, Photographic Communications). Fotografer menyampaikan informasi atau pesan melalui gambar yang ia potret. Fungsi foto jurnalistik antara lain menginformasikan (to inform), meyakinkan (to persuade), dan menghibur (to entertain).

 Koresponden
Selain reporter, media massa biasanya memiliki pula Koresponden (correspondent) atau wartawan daerah, yaitu wartawan yang ditempatkan di negara lain atau di kota lain (daerah), di luar wilayah di mana media massanya berpusat.

 Kontributor
Kontributur atau penyumbang naskah/tulisan secara struktural tidak tercantum dalam struktur organisasi redaksi. Ia terlibat di bagian redaksi secara fungsional. Termasuk kontributor adalah para penulis artikel, kolomnis, dan karikaturis. Para sastrawan juga menjadi kontributor ketika mereka mengirimkan karya sastranya (puisi, cerpen, esei) ke sebuah media massa. Wartawan Lepas (Freelance Journalist) juga termasuk kontributor.
Wartawan Lepas adalah wartawan yang tidak terikat pada media massa tertentu, sehingga bebas mengirimkan berita untuk dimuat di media mana saja, dan menerima honorarium atas tulisannya yang dimuat. Termasuk kontributor adalah Wartawan Pembantu (Stringer). Ia bekerja untuk sebuah perusahaan pers, namun tidak menjadi karyawan tetap perusahaan tersebut. Ia menerima honorarium atas tulisan yang dikirim atau dimuat.

Bidang Pendukung Redaksi
Bagian yang tak kalah pentingnya untuk membantu kelancaran kerja redaksi adalah bagian Perpustakaan dan Dokumentasi serta bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Litbang memantau perkembangan sebuah penerbitan, survei pembaca, dan memberikan masukan-masukan bagi pengembangan redaksional dan bagian lainnya, termasuk pembinaan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia.

Bagian Usaha (Business Department)
Bertugas menyebarluaskan media massa, yakni melakukan pemasaran (marketing) atau penjualan (saling) media massa. Bagian ini merupakan sisi komersial meliputi sirkulasi/distribusi, iklan, dan promosi. Biasanya, bagian pemasaran dipimpin oleh seorang. Pemimpin Perusahaan atau seorang Manajer Pemasaran (Marketing Manager) yang membawahkan Manajer Sirkulasi, Manajer Iklan, dan Manajer Promosi.


Prinsip Dasar Sistem Pekerjaan Kewartawan
1. News Gathering. Hal ini adalah proses awal dari sistem pemberitaan, yakni tahapan satu organisasi media massa yang diwakili wartawannya mulai mengumpulkan berita.
2. News Editing. Hal ini adalah proses lanjutan dari sistem pemberitaan, yakni tahapan satu organisasi media massa yang diwakili oleh para redaktur melakukan penyuntingan berita.
3. News Distributing. Hal ini adalah proses akhir dari sistem pemberitan, yakni tahapan satu organisasi media massa menyebarkan berita kepada publiknya.
4. News Evaluating. Hal ini banyak berkaitan dengan sistem media massa yang senantiasa berupaya mengembangkan mutu -bukan hanya jumlah-beritanya, sehingga menerapkan pola analisa isi (contents analysist) yang biasanya dilakukan oleh satu unit/divisi khusus dalam manajemen keredaksian. Dari tahapan evaluasi tersebut, maka media massa berupaya pula mengadakan perbaikan mutu isi karya jurnalistiknya melalui “editorial clinic” dan pendidikan berkelanjutan (continuing education).

Manjemen sebuah keredaksian pada dasarnya dibuat berdasarkan kebutuhan institusi pers yang bersangkutan. Untuk sebuah penerbitan koordinator liputan penting, namun bagi yang lain tidak. Begitu juga sebaliknya. Tujuan utamanya bagaimana agar institusi keredaksian bisa berjalan dengan baik dan sesuai dengan perencanaan.


Sumber:

http://tonz94.wordpress.com/2009/05/02/manajemen-media-massa/




























MANAJAMEN MEDIA MASSA

Perusahaan Media Masa baik cetak dan elektronik pada prinsipnya merupakan industri yang bergerak di dalam bidang informasi. Sebagai industri, maka sama halnya dengan industri-industri di bidang lain, media massa baik cetak maupun elektronik haruslah dikelola sesuai dengan asas-asas manajemen yang umum. Secara umum, dunia manajemen menggunakan prinsip P.O.A.C. atau Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling. Prinsip manajemen ini banyak dianut oleh perusahaan media massa dewasa ini.

Planning
Rencana awal atau tujuan membuat sebuah media massa haruslah jelas terlebih dahulu. Ada pepatah “Gagal merencanakan, sama dengan merencanakan gagal”. Dari tahapan planning inilah,
oleh tim yang membidangi lahirnya sebuah media massa. merumuskan visi-misi media massa tersebut. Misalnya mencakup format media massa. Yang dimaksud format, jika media cetak apakah berbentuk koran, majalah, tabloid, newsletter atau jurnal. Kemudian rincian mengenai kertas yang digunakan, mencakup jenis kertas, spesifikasi lengkap kertas, menyangkut bobot dan ukuran. Setelah itu rincian tentang segmentasi produk media cetak itu sendiri mencakup, segmentasi harga, segmentasi pembaca, dan segmentasi iklan.

Setelah itu barulah perencanaan dari segi operasional yang mencakup susunan awak redaksi, susunan awak bagian-bagian lain yang mendukung proses produksi, seperti bagian pemasaran, administrasi, iklan, dan sirkulasi. Selanjutnya adalah perencanaan dalam membuat estimasi atau perkiraan neraca rugi laba di tahun pertama, tahun kedua dan seterusnya. Perencanaan media massa memanglah sama
rumitnya dengan feasibility study bisnis lain, namun lebih baik merencanakan secara bagus dan benar semenjak awal daripada menyesal kemudian.

Organizing
Setelah proses planning dijalankan maka susunan organisasi yang telah menduduki posnya masing-masing haruslah mengerti tupoksi atau tugas pokok dan fungsi masing-masing bagian.
Seorang pimpinan media massa haruslah mampu menggerakkan roda organisasinya.

Actuating
Tindakan yang diambil oleh pimpinan media massa sangatlah strategis dan melibatkan semua bagian secara keseluruhan.

Controlling
Untuk mengawasi jalannya roda sebuah media massa, seorang manajer atau pimpinan haruslah mengerti terlebih dahulu semua permasalahan yang dihadapi oleh semua pimpinan bagian. Apabila P.O.A.C telah dilaksanakan maka kelangsungan hidup, laba, perluasan, prestasi, dan tanggung jawab sosial perusahaan media massa dapat dicapai. Mengapa harus dipikirkan tentang tanggung jawab sosial perusahaan media massa? Karena media massa adalah produk yang hadir, 100% untuk publik atau masyarakat semata-mata. Maka itu tanggung jawab sosial perusahaan media massa tidak berhenti saat menelurkan produk, tetapi sampai waktu produk itu direspon oleh publik-pun harus tetap diperhatikan secara kontinyu. Sebagai penyedia jasa informasi, kebutuhan informasi bagi masyarakat merupakan hal yang vital, karena menyangkut kepercayaan masyarakat secara keseluruhan.



Delapan Hal Pokok Saat Mulainya Produk Media Massa
Menurut Suwidi Tono seorang praktisi dalam dunia media massa dalam bukunya: “Generasi Baru Wartawan & Dunia Pers Indonesia“, terbitan Vision, Jakarta tahun 2003, menyatakan, proses awal dalam manajemen media massa yang paling menentukan adalah saat planning, karena planning mencakup 8 hal pokok yakni:

1. Latar Belakang
Tujuan dibuatnya produk mencakup latar belakang idealisme, latar belakang filososfi serta visi dan misi. Pada bagian ini perlu diketengahkan secara umum gagasan untuk menerbitkan sebuah media massa. Latar belakang dapat dimulai dari perkembangan lingkungan global, selanjutnya sampai ke perkembangan tingkat nasional, perkembangan wilayah regional dan bahkan bila produk media massa tersebut adalah media komunitas, maka sampai ke tingkat kepentingan yang lebih mikro yakni perkembangan komunitas lokal.

2. Konsep Produk
Konsep Produk adalah karakteristik dasar sebuah produk, yakni menu apa yang akan diketengahkan, bagaimana pembagian rubrikasinya, dan apa yang menjadi andalan media massa tersebut.

3. Posisi Produk (ProductPositioning)
Posisi Produk: Perlu dibidik dengan jelas publik yang hendak dituju, menyangkut demografi penduduk. Siapa yang menjadi sasaran publiknya, berapa tingkat pendapatannya, tingkat pendidikan, gender, hobi dan lain-lain aspek yang menunjang pada posisi atau level mana produk akan bermain di pasar, yang
dimaksud pasar di sini adalah publik dan iklan.

4. Strategi Pemasaran
Strategi Pemasaran: Srategi pemasaran mencakup sirkulasi, iklan yang akan ditargetkan dan kemampuan redaksi. Karena dengan kekuatan redaksi yang bagus maka berita yang dihasilkan bisa menjual dan laku di pasaran.

5. Manajemen dan Kepemilikan (Ownership and Management)
Manajemen Kepemilikan: Mencakup sistem dan hierarki pemegang saham, siapa saja yang menjadi pemiliknya. Dan sistem apa kepemilikannya, apakah full ownnership, (kepemilikan tunggal), atau peseroan, firma, atau perusahaan terbuka yang karyawannya pun dapat memiliki sahamnya.

6. Aspek keuangan dan asumsi-asumsi keuangan dasar
Hal ini mencakup prakiraan rugi-laba, dan keseimbangan neraca.Aspek keuangan dan Asumsi Dasar Biaya: Menguraikan secara terperinci dengan lengkap berupa penyusunan anggaran, asumsi dasar mulai dari aspek biaya produksi, perhitungan harga pokok, dan asumsi-asumsi untuk pos-pos biaya lainnya.

7. Area Resiko (Risk Area)
Area Resiko dan upaya antisipasinya: Gagasan atau ide media secemerlang apapun haruslah tetap memperhitungkan faktor- faktor resikonya. Sedapat mungkin resiko haruslah dapat diperhitungkan (calculated risk).

8. Jadwal dan Pembiayaan Pra-Operasional serta Pasca-Operasional.
Salah satu tahap penting yang dilaksanakan agar produk siap dan matang sebelum diluncurkan ke pasar dalam hal ini publik, adalah tahap tahap pra- operasi. Tahap ini mencakup time table atau jadwal kerja setiap kegiatan yang disusun untuk membuat produk. Masa pra-operasi juga membutuhkan biaya besar terutama menyangkut investasi awal berupa infrastruktur perlengkapan kantor, biaya recruitmen, honor
karyawan bulan pertama, dan biaya promosi awal. Begitulah tahap planning memegang peranan penting dalam memulai sebuah produk media massa.

Sumber :

http://tonz94.wordpress.com/2009/05/01/manajamen-media-massa-dengan-p-o-a-c/